Wednesday, February 4, 2009
Bagian Satu: Dari Kaki Gunung Gede ke Tangkuban Perahu
Masa Kecil dan Remaja 1950-1969
Joki Muchajar lahir 27 September 1950, di Sukabumi, sebuah kota kecil, terletak persis di kaki Gunung Gede, Jawa Barat. Masa kecil dihabiskan Joki di kota sejuk ini hingga ia menginjak remaja. Ia adalah anak ketiga pasangan Raden Achmad Diredja dan Mariati Widjaja. Bila diurutkan silsilahnya, ayahnya masih merupakan keturunan Raja-raja Padjajaran.
Sebelum menetap dan beranak pinak di Sukabumi, keluarga Achmad Diredja pada mulanya bermastautin di Jakarta. Ayahnya saat itu masih tercatat sebagai pegawai di Djawatan Kereta Api (DKA). Tidak lama berselang, tepatnya tahun 1946, Ahmad Diredja mengundurkan diri, lalu hijrah ke Sukabumi dan beralih profesi menjadi anneemer (pemborong). Ibundanya sendiri, Mariati Widjaja, selain sebagai ibu rumah tangga, pernah aktif terlibat dalam “Putera,” Pusat Tenaga Rakyat (1942-1943).
Keluarga Achmad Diredja tergolong terpandang di Sukabumi. Sebagai anneemer yang saat itu jumlahnya masih segelintir, Ahmad Diredja termasuk yang dikenal sukses lantaran ulet dan disiplin. Tak heran bila selama menjalankan usaha, ia dipercaya mengerjakan proyek-proyek rumah, rumah sakit, sekolah, gereja serta fasilitas umum dan sosial lainnya, termasuk proyek-proyek bantuan Pemerintah Belanda.
Di pangkuan Ibunda bersama kakak laki-laki dan perempuan.
Joki kecil dengan seragam TNI AL.
Di mata Joki dan dua kakaknya Jerry Achyar dan Siti Rochma, Achmad Diredja adalah sosok ayah yang disiplin dan keras. Teliti di segala hal. Di pekerjaan, ia yang sesekali membawa serta anaknya meninjau lokasi proyek, dengan seksama meneliti hasil kerja anak buahnya sampai tuntas. Bila dirasa kurang pas, ia tak segan-segan mengambil tindakan tegas, seperti merobohkan pagar yang dibangun anak buahnya, lalu memerintah mereka membangun kembali di bawah pengawasannya agar hasilnya sesuai dengan spesifikasi.
Begitulah, disiplin yang melekat di karakter ayahnya itu ditunjukkan pula dalam mendidik anak-anaknya. Hal itu dirasakan benar olehnya dan kedua kakaknya. Selama masa-kanak-kanak hingga tamat SMA, ayahnya konsisten mendoktrin bahwa belajar keras merupakan satu keharusan. Hasilnya, sejak SD, SMP hingga SMA, prestasi yang ditorehkan anak-anaknya lumayan baik.
Joki bersama dengan teman-teman semasa SD di SRK Kehidupan Baru, Sukabumi.
Ilmu agama juga tak luput dari perhatian ayahnya. Sejak kecil, ia sudah diharuskan belajar ngaji di hari-hari tertentu. Bahkan ketika SD, ia sempat dimasukkan ke madrasah. Aktifitas ini dilakukannya siang hingga menjelang magrib. Namun meski kegiatan sehari-harinya cukup padat, bukan berarti ia kehilangan masa kanak-kanaknya. Ia tetap seperti anak-anak lain yang suka bermain-main di waktu luang.
Di mata teman-teman sepermainannya dulu, Joki kecil tergolong anak yang lumayan nakal. “Dia itu pintar. Tapi agak nakal. Dan kebiasaannya yang menonjol, dia itu suka usil. Manas-manasin teman,” ungkap Taufik Herman, yang kini bekerja di Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta. Menurut Taufik, selain dirinya, teman akrabnya yang jadi satu geng waktu kecil adalah Bobby, anak blasteran Belanda-Thailand serta Wiwih, seorang lagi bersuku Tionghoa, anak pemilik toko kelontong dekat rumahnya.
Menurut Taufik, dirinya dan teman-teman sebayanya sering mengabiskan waktu luang dengan bermain di pematang sawah yang letaknya di belakang rumah orang tua. Atau kalau tidak, mereka cukup bermain di halaman depan rumahnya, mulai dari bermain kucing-kucingan, tendang kaleng sampai kelereng. “Kami juga sering sekali manjat pohon Pala yang terletak di halaman depan rumah. “Kalau sudah panjati pohon itu, kami sering lupa waktu,” ingat Taufik.
Semasa sekolah dasar, lanjut Taufik, Joki di mata para guru dan teman-teman tergolong anak yang pandai. Rajin belajar serta berdisiplin. Tak heran bila selama bersekolah di SD Kehidupan Baru, Sukabumi, ia termasuk murid yang berprestasi dan sering membuat terkesan para guru yang mengajarnya.
Rekan semasa kecil lainnya, Yoshita atau yang akrab dipanggil Itok, menganggapnya sebagai anak bungsu yang manja dan cenderung agak pemalu. “Kalau saya main ke rumahnya, dia dulu tidak pernah nyamperin saya. Saya justru lebih akrab dengan kakak-kakaknya,” tutur Yoshita, yang waktu kecil kerap diajak orang tuanya berkunjung ke rumahnya. Ayah Yoshita, Jayadi Sastra juga seorang anneemer, sama halnya dengan profesi orang tuanya.
Dengan Joki, Yoshita memang tidak begitu akrab. Tapi sewaktu duduk di bangku Sekolah Dasar, keduanya selalu satu kelas sejak kelas satu hingga menginjak kelas enam. Seingatnya, kalau sedang berada di rumah orang tua Joki, ia sering melihatnya diolok-olok oleh kedua kakaknya. “Kalau sudah begitu, biasanya dia marah dan langsung ngambek. Ya begitulah seingat saya, kira-kira sifatnya semasa kami sama-sama masih kanak-kanak,” kenang Yoshita
Selain senang bermain bulutangkis dan tennis meja, Joki sewaktu kecil keranjingan sepakbola. Hobby bermain sepakbola inilah yang kerap membawanya, berhadapan dengan sang ibu yang sudah menunggu di depan pintu rumah sembari membawa kemoceng di tangan, siap menghardik bila lambat pulang. Ibunya, seperti juga sang ayah, juga merupakan sosok tegas dan disiplin mendidik anak.
Dengan teman - teman sekelas di SMA Mardijuana, Sukabumi
Tahun 1969, Joki menamatkan SMA-nya di SMA Mardi Yuana dan keluar sebagai satu di antara 10 siswa berprestasi di sekolahnya. Dengan bekal rasa percaya diri yang tinggi, ia bersama-sama dengan teman-teman seangkatannya, mendaftar tes masuk ke Institut Teknologi Bandung (ITB). Saat itu, di kalangan siswa-siswi Sukabumi, ITB bersama dengan Universitas Padjadjaran (Unpad) merupakan dua perguruan tinggi favorit yang jadi benchmark sekaligus kebanggaan bagi siapa saja yang berhasil lolos menjadi mahasiswanya. Kalaupun ada yang berminat di perguruan tinggi lain, jumlahnya tidaklah banyak.
Namun, ada juga di antara rekan-rekannya kala itu yang tertarik mendaftar ke AKABRI di Magelang. Waktu kecil hingga duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), Joki sempat mengidolakan profesi menjadi anggota AKABRI. Namun karena dorongan orang tua yang menginginkannya menjadi arsitek, niat menjadi tentara itu pun diurungkannya. Akhirnya konsentrasi menyiapkan diri untuk mengikuti tes masuk di ITB mengambil jurusan arsitek dan teknik sipil. Di ITB, selain jurusan mesin, elektro, jurusan arsitek dan sipil termasuk dalam lima besar jurusan favorit yang diminati banyak calon mahasiswa.
Pada masa itu, melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi di Kota Bandung merupakan dambaan bagi sebagian besar lulusan Sekolah Lanjutan Atas di Sukabumi.
Kota Bandung, selain menawarkan beragam perguruan tinggi dengan mutu pendidikan yang mumpuni, dianggap memiliki kharakteristik berbeda yang tidak didapati di kota-kota lain di Pulau Jawa. Karena itulah, banyak di antara mereka yang menganggap kota dengan julukan “Paris Van Java” ini sebagai kota idaman untuk menuntut ilmu sekaligus tempat bermukim.
Tapi, Dewi Fortuna agaknya belum menaunginya. Usaha kerasnya belum membuahkan hasil setelah namanya ternyata tidak tercantum dalam daftar calon mahasiswa yang diterima di ITB. Kenyataan ini, sempat membuatnya down. Tapi kondisi itu tak berlangsung lama, atas dukungan orang tua, maka dipilihlah Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai tempat untuk melanjutkan studi. Syukurnya, langsung diterima di IPB dan mengambil Jurusan Kehutanan. Namun karena yang ada di benaknya hanyalah ingin menjadi arsitek dan arsitek, maka diputuskan untuk tidak meneruskan studi di kampus ini.
Di tengah ketidakpastiannya itu, ayahnya mengajak untuk mendaftar ke Universitas Trisakti Jakarta. Tapi lagi-lagi belum garis takdir, kepergian keduanya ke Jakarta juga tak membuahkan hasil lantaran saat itu Universitas Trisakti sudah menutup pendaftaran bagi mahasiswa baru.
Upaya meneruskan studi dan meretas cita-cita menjadi arsitek ini, memang tak hanya sampai di situ. Akhirnya, disepakati untuk mendaftar di IKIP Bandung mengambil Jurusan Arsitek di Fakultas Keguruan Ilmu Teknik. Di kampus itu, meski bukan kampus favoritnya, tetap tak pernah surut belajar keras untuk mewujudkan ambisinya menjadi insinyur.
Sembari kuliah, ia masih menyempatkan diri mengikuti program bimbingan belajar di Salman Bimbingan Tes, satu lembaga bimbingan belajar cukup ternama di Kota Bandung saat itu. Ini dilakukannya alih-alih sebagai persiapan mengikuti saringan ujian masuk ke ITB, kampus dambaannya.
MAPRAM di IKIP Bandung.
Ikut dalam tim basket sewaktu di IKIP Bandung.
Kuliah sambil mengikuti program bimbingan belajar, tentu membutuhkan konsentrasi yang tinggi serta menyita waktu dan tenaga. Namun demikian, semua itu cukup berhasil dijalankannya selama tidak kurang dari setahun. Kerja kerasnya itu akhirnya berbuah manis. Pada ujian penerimaan mahasiswa baru ITB tahun 1971, Joki menjadi salah satu peserta yang dinyatakan lolos seleksi, diterima di jurusan planologi, disiplin ilmu yang memang diidam-idamkan sejak lama.
Meski sudah resmi jadi mahasiswa ITB, ia lantas tidak serta merta meninggalkan kampus lamanya, IKIP Bandung. Beberapa bulan lamanya, dijalaninya kuliah di dua tempat. Hanya saja seiring dengan perjalanan waktu serta mulai padatnya aktifitas serta tugas-tugas kampus, atribut mahasiswa dari Kampus IKIP Bandung itu akhirnya dilepaskannya. Setelahnya, benar-benar fokus menimba ilmu di Kampus ITB.
Masa-masa kuliah di ITB, bersama dengan rekan sekampus.
Kuliah di jurusan serta perguruan tinggi favorit membuatnya menjalani masa-masa kuliah di ITB dengan semangat tinggi serta lihai mengatur ritme belajar dengan aktifitas non akademik. Di Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), hampir tak pernah ada kegiatan yang digelar bersama rekan se-kampus, luput dari keterlibatannya.
Menjadi panitia penerimaan mahasiswa baru ITB angkatan 1972. Di samping Joki adalah Prof. DR. Doddy Tisna Amidjadja, Rektor ITB.
Pada waktu penerimaan mahasiswa baru ITB tahun 1972, ia termasuk anggota HMJ yang aktif menyokong di kepanitiaan. WALAWA (Wajib Latih Mahasiswa) juga diikutinya melalui pelaksanaan pelatihan di Kamp Pelatihan WALAWA di Lembang.
Aktif di WALAWA.
Bersama ayah dan ibu Emmy.
Di kampusnya ITB ini pula, ia bertemu dengan Emmy Aviastuti, yang kelak menjadi pendamping hidupnya hingga kini. Emmy adalah adik tingkatnya, mahasiswi angkatan tahun 1974, putri keluarga Marsekal Muda Soekotjo. Ia mengenal Emmy yang sejak dikenalnya dilanjutkan dengan menjalin hubungan asmara sejak tahun-tahun pertama perempuan kelahiran Bogor itu mulai kuliah di kampusnya.
Masa-masa pacaran dijalani keduanya seperti halnya pasangan muda-mudi pada masa itu. Hubungan ini terus berjalan meski ia telah lulus kuliah. Tahun 1982, Joki menikahi Emmy, beberapa tahun setelah anak kedua dari lima bersaudara itu menyelesaikan SI-nya.
Mendampingi sang kekasih sesaat setelah adik kelasnya itu diwisuda.
Mempersunting Emmy, tahun 1982.
Joki juga selalu menyempatkan ambil bagian di berbagai proyek praktik lapangan seperti survei lalu lintas hingga survei perencanaan sawah pasang surut Sungai Siak, Riau. Termasuk bekerja di LPP-ITB (1974-1975) serta Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Tingkat I Jawa Barat, sebagai Asisten Proyek (1975-1976).
Selanjutnya, pendidikan SI-nya diselesaikan pada tahun 1977. Setelahnya, kemudian bekerja di Subdit Perencanaan Jalan Kota Ditjen Bina Marga Departemen PUTL, Jakarta sebagai staf perencanaan bersama dengan beberapa rekan seangkatannya di ITB.
Wisuda Sarjana ITB tahun 1977.
Diapit ayahanda dan ibunda, setelah wisuda S1-nya.
Baik di Bina Marga maupun di Konsultan, yang bergerak dalam bidang transportasi yang ditekuninya setelah resigned dari Bina Marga, karena keinginannya yang besar untuk menerapkan “ilmu perkotaannya,” maka diterimalah tawaran dari mantan dosennya di ITB yakni Ir SL Tobing sebagai tenaga teknis di Otorita Batam. Baginya, tawaran tersebut merupakan kesempatan langka yang tidak datang dua kali.
Pikirnya, dengan bekerja di Otorita Batam, berarti bakal terlibat langsung dalam proses membangun sebuah kota baru. Sebuah tantangan yang dianggap sejalan dengan obsesinya meniru bagaimana pakar planologi Jepang Kenzo Tange membangun Kota Tokyo. Di tahun 1978 itu, ia resmi menjadi pegawai Otorita Batam, Jakarta dan bertugas di Departemen Perencanaan dan Teknik.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment