Wednesday, February 4, 2009

Bagian Dua: Periode awal Pembangunan Batam (1970-1978)




Latar Belakang Pengembangan


Secara geografis, Pulau Batam yang berluas 415 Km2, berada di jalur lalu lintas internasional, yang merupakan jalur perdagangan internasional paling ramai kedua setelah Selat Dover di Inggris. Pulau ini hanya berjarak 20 Km sebelah Selatan Singapura. Seperti halnya pulau-pulau di wilayah perbatasan pada umumnya, pulau ini pada awal tahun 1960-an, nyaris kosong, tanpa pemusatan penduduk dan kegiatan ekonomi lainnya.

Kendati demikian, terdapat kelompok penduduk yang telah ratusan tahun mendiami pulau ini. Mereka adalah penduduk tempatan yang menetap menyebar di sepanjang pesisir pantai. Sebagain besar, mereka berprofesi sebagai penangkap ikan dan sebagian lagi bercocok tanam. Di masa awal ini, mereka samasekali tidak banyak terlibat dalam mengubah fisik pulau ini yang waktu itu masih berupa hamparan hutan.

Memasuki masa konfrontasi Indonesia-Malaysia di tahun 1963, Batam yang awalnya tidak begitu menjadi perhatian pemerintah, dengan timbulnya peristiwa yang oleh Presiden RI pertama Ir Soekarno kerap disebut “Ganyang Malaysia” ini, tiba-tiba mulai dilirik. Terlebih saat Batam bersama dengan pulau-pulau lainnya di Riau Kepulauan ini dijadikan sebagai Pangkalan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Dengan posisinya yang amat dekat dengan Singapura, Batam secara geografis dianggap sebagai tempat paling strategis untuk melihat pergerakan musuh di seberang laut.

Di masa ini, Soeharto yang kemudian hari menjadi Presiden RI ke-2, menjadi bagian dari prajurit militer Indonesia yang bertugas di wilayah konflik di perbatasan ini. Setelah berbulan-bulan menjaga dan mengamati wilayah perbatasan ini, ia menilai sesungguhnya Batam dan Singapura adalah dua pulau kembar. Hanya saja kondisinya jauh berbeda. Pulau Batam dianggap oleh Soeharto sebagai pulau yang tengah tertidur.

Sebagai prajurit, Soeharto memandang Batam tidak saja saja dari sudut pandangan militer (keamanan), tapi lebih dari itu. Ia juga mencoba melihat Batam dari sudut politik, geopolitik dan ekonomi. Sosok Soeharto sudah memprediksi jika Pulau Batam dikembangkan dengan sungguh-sungguh, niscaya di masa mendatang bisa mengangkat kewibawaan Indonesia dalam percaturan dunia. Ia bahkan menilai Batam bakal menjadi barometer politik di kawasan Asia Tenggara. Sedang secara ekonomi, kawasan di sekitar Pulau Batam memiliki prospek yang cerah karena berada di jalur perdagangan internasional.

Pasca Konfrontasi Malaysia-Indonesia berakhir dan Soeharto diangkat menjadi Presiden RI menggantikan Soekarno, menginginkan agar Pulau Batam segera dibangun. Presiden Soeharto menetapkan Batam sebagai Pangkalan Logistik dan Operasional yang berhubungan dengan eksploitasi dan eksplorasi minyak lepas pantai.



Ketua Otorita Batam BJ Habibie memaparkan maket rencana pengembangan Batam Centre


Melalui Keppres No.65/70, Presiden Soeharto akhirnya memerintahkan PN Pertamina sebagai penangungjawab atas pelaksanaan pembangunan proyek tersebut. Kemudian memasuki tahun 1971, Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres No. 74/71 mengenai Pengembangan Pulau Batam menjadi Daerah Industri sekaligus menunjuk Direktur Pertamina Ibnu Sutowo, sebagai penanggungjawab.





Dengan Ibnu Sutowo, Ketua OPDIPB pertama




Dengan penerbitan Keppres tersebut semakin memperkokoh tiang pancang Ibnu Sutowo bersama Pertamina untuk mengembangkan Pulau Batam. Dalam Keppres tersebut, Pulau Sambu di sebelah barat daya Pulau Batam, juga ditetapkan sebagai pangkalan minyak Pertamina. Sedangkan poin penting lainnya berupa penetapan Batuampar sebagai daerah industri dengan status entreport partikulir untuk memfasilitasi kegiatan basis logistik dan operasional Pertamina.

Masterplan Pertama (1972)

Guna mempercepat perwujudan pengembangan Pulau Batam, Pertamina yang juga diserahi tugas mengongkosi finansial proyek ini, membuat kajian masterplan (rencana induk) pada tahun 1972. Dalam penyusunan masterplan Batam yang pertama ini, Pertamina menggandeng konsultan Nissho Iwai Co. Ltd dari Jepang serta Pasific Becthel Inc dari Amerika Serikat. Hasil kajian ini merekomendasikan strategi pembangunan Batam yang bertitik berat pada industri eksplorasi minyak dan gas serta pusat pemrosesan produk ikutannya, yakni pusat industri petroleum dan petrokimia. Awal dasawarsa 1970-an sektor minyak memang sedang menjadi primadona karena harga minyak di pasar dunia sangat kuat. Di samping itu, posisi geografis Batam yang terletak di simpang jalur lalu lintas Asia Barat-Asia Timur, sangat strategis untuk dapat menarik manfaat dari jalur distribusi minyak yang ada.




Hanya saja, kajian Nissho Iwai-Pasific Becthel ini tak terealisasi, padahal lokasi Batam sangat memungkinkannya. Tiga puluh tahun kemudian, Singapura, justru membuktikan kebenaran substansi kajian Nissho Iwai-Pacific Bechtel. Dengan konsistensi kebijakannya di sektor industri petroleum, negara pulau itu berhasil menempatkan dirinya sebagai oil-refinery center terbesar ketiga dunia. Padahal, Singapura samasekali bukan negara produsen minyak.

Lahirnya Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (OPDIPB)

Memasuki tahun 1973, guna memantapkan langkah pengembangan Pulau Batam Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres No. 41/73. Keppres ini menetapkan Pulau Batam sebagai lingkungan kerja daerah industri, dan Ibnu Sutowo dikukuhkan sebagai Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (OPDIPB). Sementara wilayah pembangunan ini meliputi Pulau Batam, Pulau Janda Berhias, Pulau Ngenang, Pulau Tanjung Sauh, Pulau Moi-moi dan Pulau Kasem.

Sebagai badan pemerintah yang bertanggungjawab atas pengembangan pertumbuhan Daerah Industri Pulau Batam, maka berdasar Keppres tersebut, OPDIPB mempunyai tugas sebagai berikut: Mengembangkan dan mengendalikan pembangunan Pulau Batam sebagai Daerah Industri; Mengembangkan dan mengendalikan kegiatan pengalih-kapalan di Pulau Batam; Merencanakan kebutuhan prasarana dan pengusahaan instalasi prasarana dan fasilitas lainnya; Menampung dan meneliti permohonan izin usaha yang diajukan pengusaha serta mengajukannya kepada instansi yang bersangkutan; Menjamin agar tata cara perizinan dan pemberian jasa-jasa yang diperlukan dalam mendirikan dan menjalankan usaha dapat berjalan lancar dan tertib serta menumbuhkan minat para pengusaha menanamkan modalnya di Pulau Batam.

Pembentukan OPDIPB ini sendiri baik langsung maupun tidak langsung memberi benefit bagi para investor. Lantaran keberadaan Otorita Batam pada hakekatnya adalah kepanjangan tangan pemerintah pusat di mana secara keseluruhan memiliki keunggulan-keunggulan seperti anggaran langsung dari pusat. Itu maknanya, nilai anggaran sama sekali tidak bergantung pada APBD. Keberadaan Otorita Batam ini sekaligus memangkas jalur birokrasi yang kerap dikeluhkan para investor. Dengan perizinan yang satu atap serta berbekal fasilitas yang wewenang pusat (pajak,fiskal & moneter), Otorita Batam dapat lebih cepat serta responsif melayani berbagai keperluan yang dibutuhkan para investor.

Bonded Warehouse (1974)

Untuk menunjang pertumbuhan Batam sebagai daerah industri, pemerintah lalu mengeluarkan Keppres Nomor 33 Tahun 1974 yang pada intinya menetapkan tiga wilayah (kawasan) di Batam menjadi bonded warehouse. Tiga wilayah tersebut masing-masing adalah wilayah di bagian Timur Pulau Batam, wilayah di daerah Batu Ampar serta wilayah di daerah Sekupang, bagian Barat Pulau Batam.

Namun dalam aplikasinya, penerapan materi yang ada dalam Keppres ini tidak berjalan mulus. Sebab, tak lama setelah itu mencuat krisis Pertamina yang nyaris menghancurkan perusahaan minyak milik negara tersebut. Untuk meneruskan roda pembangunan di Batam yang sempat stagnan akibat krisis Pertamina tersebut, Pemerintah Pusat lalu mengambil inisiatif dengan mengganti kepemimpinan pembangunan Pulau Batam dari Ibnu Sutowo ke JB Sumarlin yang saat itu menjabat sebagai Menteri Penertiban Aparatur Negara (Keppres Nomor 60/M/1976).

JB Sumarlin sendiri, pasca mendapat mandat Presiden Soeharto langsung melakukan review serta menganalisa landasan dasar pengembangan Batam. Dengan tim bentukannya, JB Sumarlin menginventarisasi seluruh proyek infrastruktur yang dilakukan Pertamina di Batam. Bergerak cukup taktis, sejumlah proyek strategis mulai dikembangkan kembali, seperti pembenahan pelabuhan Kabil serta Batuampar.

Tahun 1978, masa tugas JB Sumarlin sebagai Ketua Otorita Batam berakhir. Selanjutnya, kepemimpinan Batam diteruskan oleh BJ Habibie yang saat itu menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi RI.

Secara umum, kondisi infrastruktur di Pulau Batam pada tahun 1978 ini masih minim. Saat itu belum ada penerbangan langsung menuju Batam. Untuk mencapai Batam, orang dari luar pulau ini harus naik pesawat ke Singapura terlebih dahulu baru setelahnya naik ferry menuju ke Batam. Atau bisa terbang ke Tanjungpinang, dan meneruskan perjalanan ke Batam menggunakan perahu pompong yang memakan waktu tidak kurang dari lima jam.

Penduduk dan Pemukiman

Di tahun 1978 ini, penduduk yang mendiami Pulau Batam ini sekitar 31.800 jiwa. Mereka tersebar di sejumlah sentra pemukiman antara lain Jodoh, Batubesar, Patam, Duriangkang, Seiharapan, Tanjungriau, Waheng, Dapur 12 serta beberapa titik di sepanjang pesisir pantai Batam.

Pada tahun-tahun tersebut, Jodoh menjadi sentra pemukiman penduduk sekaligus pusat perdagangan yang penting di Pulau Batam. Banyaknya penduduk yang menempati area Jodoh ini tidak lain sebagai akibat dari pengembangan kawasan Batu Ampar sebagai kawasan industri dan pelabuhan, terutama industri offshore pertama di Pulau Batam.

Kondisi Jodoh pada masa ini terbilang sederhana. Pemukiman penduduk yang ada menyatu dengan pasar. Bangunan rumah serta kedai-kedai milik penduduk masih terbuat dari kayu. Perkampungan yang berdiri di atas permukaan laut ini terdiri atas komunitas beragam, seperti Melayu, Tionghoa, Batak, Jawa, Padang, Bugis serta suku-suku lainnya. Namun dari berbagai catatan yang ada, dari sekitar 300KK yang menghuni Jodoh, 40 persennya adalah warga Tionghoa.

Keberagaman komunitas di Jodoh ini ditunjukkan dengan adanya nama-nama kampung seperti Kampung Melayu, Kampung Batak, Kampung Bugis, Kampung Jawa serta Kampung Boyan (Bawean) yang letaknya masih di sekitaran Jodoh. Rumah-rumah orang Tionghoa sebagian besar berada di sekitaran pasar Jodoh yang letaknya menjorok, menghadap langsung ke arah laut. Sedangkan kampung-kampung lain terletak agak ke arah darat.



Perumahan Otorita Batam di Bukit Senyun dengan latarbelakang kawasan Jodoh.




Jodoh tahun 1970-an.


Mobilitas penduduk praktis mengandalkan sarana laut, seperti pancung bermesin sederhana terbuat dari kayu dan perahu-perahu dayung. Pompong berperan besar pula mengangkut barang dan orang. Demikian halnya dengan pelantar, menjadi penghubung antara rumah penduduk yang satu dengan yang lainnya. Jalur darat sebenarnya sudah ada berupa jalan tanah yang kondisinya serba apa adanya. Tapi karena belum diaspal, bila turun hujan, mudah becek. Licin.

Sebelum Belakangpadang serta Jodoh tumbuh menjadi sentra perdagangan penting, Pulau Buluh yang terletak di seberang Sagulung, Batu Aji, merupakan pusat perniagaan utama di wilayah ini. Pulau Buluh telah lahir menjadi pusat perniagaan sejak masa pendudukan Belanda hingga Jepang. Dari Pulau Buluh inilah, warga Belakangpadang dan pulau-pulau di sekitarnya termasuk Batam mendapat pasokan untuk kebutuhan sehari-hari.

Pada tahun 1978 ini, Otorita Batam bergiat melakukan pengembangan kawasan industri Batu Ampar. Jodoh yang notabene dekat dekat dengan kawasan industri pionir itu tak luput dari pembenahan. Berbagai upaya dilakukan Otorita Batam untuk menata pemukiman di kawasan tersebut. Meski tidak berjalan mudah, namun pada akhirnya dalam kurun beberapa tahun, perlahan pemukiman penduduk di kawasan ini berhasil dibenahi. Sebagian penduduk dipindahkan di sekitaran Nagoya, Kampung Utama, Baloi, Kawasan Pelita. Sebagian lagi direlokasi ke Sungai Panas dan Bengkong. Jodoh sendiri pasca pembenahan, mulai dibangun pasar serta ruko-ruko permanen dan makin bergeliat menjadi sentra bisnis modern.




Pembangunan di kawasan Nagoya awal 1980-an.




Waduk

Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, Pulau Batam yang tidak memiliki sumber air, seperti sungai, harus membangun waduk untuk menampung air hujan yang selanjutnya akan diolah menjadi air bersih. Waduk yang pertama kali dibangun adalah Waduk Sei Harapan (tahun 1969) tetapi baru beroperasi tahun 1979, dengan kapasitas operasional 222 liter/detik.

Sedangkan Waduk Baloi (tahun 1975), merupakan waduk yang pertama kali beroperasi yaitu tahun 1978, dengan kapasitas operasional 301 liter/detik. Selanjutnya Waduk Nongsa dibangun sejak tahun 1975. Namun baru bisa mulai beroperasi tahun 1980 dengan kapasitas operasionalnya 52 liter/detik.



Sebelum dibangun waduk-waduk tersebut, penduduk Batam sendiri sejak dulu mengandalkan air tadah hujan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Sebagian warga menggunakan air sumur. Namun tidak sedikit yang membeli air bersih dari para pemasok yang menjual air bersih yang didapat dari sumber mata air yang terdapat di sejumlah pulau di sekitar Batam.

Pembangunan waduk di sejumlah wilayah yang dibangun Otorita Batam itu memberi arti penting bagi tercukupinya kebutuhan penduduk Batam akan air bersih. Meski pada awalnya, air bersih yang dihasilkan waduk-waduk tadi difokuskan untuk mensuplai kebutuhan kawasan industri, kantor-kantor sekaligus perumahan yang dibangun Otorita Batam, namun seiring dengan mulai beroperasinya seluruh waduk yang ada, pemukiman-pemukiman penduduk lainnya secara perlahan sudah mulai teraliri.

Listrik

Sebelum mendapat pasokan listrik, penduduk yang tersebar di berbagai sentra pemukiman di Batam mengandalkan petromak serta lampu teplok untuk menerangi rumah-rumah mereka. Itupun jumlahnya amat terbatas, tidak semua rumah punya lampu petromak. Karenanya bila hari menjelang malam, perkampungan-perkampungan warga di Batam serta pulau-pulau sekitarnya, mendapat penerangan seadanya.

Sumber listrik sendiri di Pulau ini baru dimulai ketika Pertamina membangun lokasi pembangkit listrik di Sekupang (4 x 560KVA) dan Batuampar (6 x 1310KVA), sehingga total daya pada saat itu sebesar 7,8 MW. Pembangunan ini selesai sekitar tahun 1973, bersamaan dengan selesainya pembangunan rumah karyawan Pertamina di Sekupang, Bukit Senyum dan Bengkong. Dengan daya yang tersedia itu, Pertamina menyuplai listrik untuk kegiatan operasional proyek semata, termasuk perumahan karyawan tersebut. Sementara layanan listrik untuk penduduk belum menjadi prioritas utama.

Sekitar tahun 1975-an ( pasca menurunnya industri perminyakan), kelistrikan di Pulau Batam dilanjutkan pengelolaannya oleh Otorita Batam dengan nama Unit Pelaksana Teknis Otorita Batam (UPT OB). Pengalihan pengelolaan ketenagalistrikan dari Pertamina ke UPT OB secara umum juga tidak mengalami perubahan terutama di bidang pelayanan ke masyarakat. Pelayanan UPT OB masih sebatas diperuntukkan bagi fasilitas-fasilitas milik Otorita Batam. Karenanya, masyarakat masih menggunakan lampu minyak dan diesel milik perorangan sebagai penerangan di malam hari, terutama di kawasan Jodoh.

Beberapa tahun kemudian, UPT OB meneruskan pembangunan pembangkit di Sekupang dan Batu Ampar. Di Pusat Pembangkit Sekupang dibangun dua unit power house yang masing-masing berkapasitas 4x3MVA dan 4x4,5MW. Sementara di Pusat Pembangkit Batu Ampar, kapasitas pembangkit ditingkatkan menjadi sebesar 4x7,5 MW.

Pada masa ini, orientasi pelayanan listrik dari UPT OB perlahan mulai mengalami perubahan. Selain lebih mengutamakan pasokan sarana dan prasarana milik Otorita Batam, listrik juga diprioritaskan untuk penyambungan industri yang sudah mulai berkembang di Batam. Sedangkan sebagian masyarakat, terutama yang bermukim tidak jauh dari mesin-mesin pembangkit yang dimiliki UPT OB, seperti Sekupang, Tiban, Tanjungpinggir, Batuampar serta Bengkong, sudah mulai menikmati aliran listrik. Pada Januari 1993, masalah ketenagalistrikan yang semula dikelola oleh UPT OB ini dalam perjalanannya kemudian diserahkan kepada PT PLN Persero.

Telekomunikasi

Pada tahun 1978 sampai dengan sekitar tahun 1983, pertelekomunikasian di Batam dikelola oleh Pertamina bersama dengan Otorita Batam, dengan satuan sambungan (SS) / Line Unit (LU) yang ada saat itu sebanyak PABX 10SS/LU.



Memasuki tahun 1983 masalah pertelekomunikasian diserahkan kepada Perumtel (PT Telkom), dengan satuan sambungan (SS)/Line unit (LU) saat ini sebanyak PABX 33.848 SS/LU. Di bidang yang satu ini, Batam juga mencatatkan sejarah sebagai kota pertama yang dijadikan percontohan untuk percobaan pengoperasian telephon seluler yang ditaja oleh PT Telkomsel.

Jalan

Pada tahun 1978 total jaringan jalan yang ada di Pulau Batam hanya sepanjang 1,4 Km. Sejak tahun 1977, di masa kepemimpinan JB Sumarlin, Otorita Batam sudah mulai menggagas pembangunan jalan arteri Sekupang-Baloi sepanjang 14,6 Km. Jalan tersebut masih berupa tanah. Meski demikian, jalur darat ini sudah dapat dilalui oleh kendaraan, terutama kendaraan-kendaraan proyek milik Otorita Batam maupun aset perusahaan kontraktor (rekanan) Otorita Batam.



Satu sudut ruas jalan Sekupang-Batu Ampar saat dalam progres pembangunan. Kondisi jalan ini masih berupa tanah dan hanya bisa dilalui kendaraan jenis Land Rover.

Di masa ini, warga Jodoh dan sekitarnya untuk bepergian ke Sekupang atau sebaliknya, lebih sering menggunakan jalur laut, yakni menggunakan speedboat atau pancung bermesin sederhana. Kalaupun terpaksa harus menggunakan jalur darat, biasanya warga menumpang kendaraan proyek yang melintas. Itupun kalau cuaca sedang cerah. Bila sedang turun hujan, hal itu tidak bisa dilakukan. Mengingat jalan yang dilalui basah, berlumpur serta licin. Kondisi ini berlangsung cukup lama namun akhirnya pengaspalan jalan itu dilaksanakan setelah turun dana dari pemerintah pusat.



Kondisi jalan di Batam era 1970-an.



Jembatan Sei Ladi, jembatan pertama di Batam yang dibangun tahun 1981.

Tak lama berselang, pengembangan fasilitas jalan berlanjut dengan dibangunnya jalan di Sekupang, tepatnya di Bukit Dangas. Lalu dilanjutkan dengan pembangunan jalan ke arah Tanjunguncang. Namun karena dana yang tersedia terbatas, jalan yang dibangun pada masa ini masih berupa jalan tanah. Pengaspalannya dilaksanakan tahun 1981 sejalan dengan pembangunan Jembatan Sei Ladi.


Bandar Udara

Proyek pembangunan bandara sudah dilakukan pada masa Ibnu Sutowo, tepatnya pada tahun 1974. Lokasi bandara yang sedianya ditempatkan di Tanjunguncang ini kemudian dipindahkan ke Batubesar karena adanya aturan penerbangan internasional yang menerangkan lokasi itu bisa mengganggu intensitas penerbangan Bandara Paya Lebar milik Singapura.

Bandara di Batubesar yang sekarang diberinama Bandara Hang Nadim ini, awalnya hanya memiliki panjang landasan pacu 850 meter dan bisa didarati pesawat jenis Twin Otter, Sky Van serta helikopter saja. Proses pemilihan lokasi bandara ini juga berlangsung cukup sederhana. Dengan topografi seadanya dan peninjauan lapangan oleh Marsekal Soedjatmiko dan staf teknik OPDIPB serta pihak kontraktor Robin Ednasa, ditetapkanlah lokasi Batubesar menjadi cikal bakal Bandara Hang Nadim.




Bandara Hang Nadim di masa perintisan pembangunannya.



Rencana pengembangan Bandara Hang Nadim.


Lalu memasuki tahun 1978, melalui perencanaan matang, Otorita Batam secara bertahap mulai membenahi pembangunan Bandara Hang Nadim. Hasilnya, pada tahun 1980, Hang Nadim sudah bisa dilandasi pesawat jenis Fokker 28. Pembangunan lanjutan bandara ini sendiri secara gradual akhirnya dilaksanakan melalui beberapa tahap; tahap satu tahun 1981-1983, membangun run away 45 x 2500 meter, tahap kedua 1988-1989, berhasil meningkatkan panjang landasan pacu menjadi 45 x 3600 meter serta tahap ketiga antara tahun 1993-1995, telah terbangun run away 45 x 4025 meter.



Pelabuhan Laut

Pelabuhan Sekupang yang merupakan pelabuhan kargo dan Terminal Ferry Domestik dan Internasional, mulai dibangun tahun 1970 dengan panjang dermaga 177M dan kapasitas 10.000 DWT. Pelabuhan Batu Ampar dibangun tahun 1971 dengan panjang dermaga awal 1000M. Sementara Pelabuhan Pantai Timur ( Kabil) dimulai pembangunannya pada tahun 1987 dengan panjang dermaga 410M. Pelabuhan ini kegiatan utamanya adalah melayani kapal-kapal milik Pertamina yang berstatus Marine Base Supply dan Kapal CPO.

Sejak tahun 1998, di Pelabuhan Sekupang telah beroperasi angkutan ferry dengan tujuan Singapura setiap setengah jam sekali. Sedangkan Pelabuhan Batu Ampar yang merupakan pelabuhan kargo dan terminal ferry baik domestik maupun internasional, telah mampu melayani kapal-kapal dengan bobot mati hingga 35.000 DWT. Panjang dermaga pelabuhan ini sendiri mencapai 1,250M, serta memiliki gudang tertutup seluas 19.500M2 serta halaman terbuka penyimpanan barang. Kapasitas ini akan ditingkatkan hingga panjang dermaga 3.600M dan fasilitas pergudangan barang seluas 230.950M2.



Di Kabil saat ini terdapat terminal minyak kelapa sawit dengan panjang dermaga 400M untuk kapal dengan kapasitas 3.000 ton bobot mati dan panjang 410M untuk kapal dengan kapasitas 35.000 ton bobot mati. Terminal ini memiliki gudang tertutup seluas 1.890M2. Kapasitas ini akan ditingkatkan hingga panjang dermaga menjadi 5.500M dengan kemampuan menampung kapal dengan bobot 150.000 ton.



Industri

Tahun 1978, lantaran infrastruktur penunjang di pulau ini yang serba terbatas, perusahaan yang beroperasi di Pulau Batam baik itu PMA maupun PMDN hanya sepuluh perusahaan.

Namun, seiring dengan pembenahan infrastruktur yang dilakukan Otorita Batam, jumlah perusahaan baik asing maupun dalam negeri yang beroperasi di Batam terus menunjukkan peningkatan. Dilihat dari jenisnya, industri di Batam beragam. Mulai dari dari industri berat (seperti MC.Dermott dan Nippon Steel), yang memperoduksi peralatan pengeboran lepas pantai terbesar Asia Tenggara, industri yang bergerak di perbaikan dan pembangunan kapal (galangan kapal) sampai dengan perusahaan yang memproduksi komponen elektronik (seperti Philips, Sanyo dll).



Lokasi pabrik milik PT MC Dermott di Batuampar.

Di Batam PMA yang paling cocok dikembangkan adalah PMA yang berorientasi ekspor, karena PMA yang berbasis sumber daya alam tidak mungkin menanamkan investasinya ke Batam, karena Batam tidak mempunyai sumber daya alam. Sedangkan PMA yang berbasis pasar pun tidak berminat datang ke Batam karena jumlah penduduk serta daya beli yang rendah sehingga pasar Batam tidak potensial. Perusahaan PMA yang berorientasi ekspor pun menuntut berbagai kondisi dalam hal pemilihan lokasinya untuk berinvestasi, antara lain mempertimbangkan ketersediaan infrastruktur, pelayanan yang cepat, mudah dan sederhana, biaya investasi yang murah, serta insentif yang menarik, yang utama tentunya keamanan berusaha dan kepastian hukum yang menjamin pengembalian investasi.

Persyaratan tersebut selama ini telah dimiliki Batam di mana pelayanan investasi yang dilakukan sudah aplikatif melalui sistem one stop service dengan tidak adanya bea masuk impor dan pajak ekspor. Kesemuanya itu sudah mencerminkan prinsip free trade zone.

Bila ditelaah lebih dalam, walaupun secara de jure Batam adalah kawasan berikat yang dilegalkan melalui Keppres No. 41/78, yakni seluruh daerah industri Pulau Batam ditetapkan sebagai Wilayah Usaha Bonded Warehouse, dalam perkembangannya telah beroperasi menjadi daerah Quasi Free Trade Zone, yakni kawasan industri yang sudah sedemikian “menyatu” dengan penduduk sekitarnya. Sehingga insentif perpajakan (PPN, PPnBM dan BM) yang diperuntukkan bagi industri juga dinikmati oleh seluruh penduduk Batam. Badan Otorita Batam sebagai pengelola selama ini berfungsi mirip sebuah badan administrator kawasan, kesemuanya ini menjadikan Batam secara de facto sebagai Free Trade Zone (FTZ).

1 comment: