Wednesday, February 4, 2009

Bagian Lima: Quo Vadis Batam 2030




Batam dalam Konstelasi Provinsi Kepulauan Riau


Memasuki dekade ke-empat pembangunan, Batam telah berkembang pesat menjadi sentra kawasan industri, perdagangan, alih kapal serta pariwisata yang terkemuka di tanah air. Letak geografis yang strategis, serangkaian kebijakan khusus dari pemerintah pusat serta tentunya dukungan penuh dari segenap masyarakat, memang tak dipungkiri menjadikan perkembangan pembangunan di wilayah ini bergerak lebih dinamis dibanding dengan wilayah lain di Indonesia.

Batam memiliki peran penting dan diakui bahwa secara ekonomis merupakan pendorong bagi percepatan pembentukan Provinsi Kepulauan Riau. Ketika provinsi ini telah terbentuk dan kini memasuki tahap pembangunannya, peran Batam bersama Rempang dan Galang, menjadi makin penting. Tidak saja dari segi ekonomi, tapi juga dari prespektif sosial dan politik. Meski secara phisik, Batam bukanlah ibukota provinsi atau sentra administrasi pemerintahan.

Mengingat akan hal itu, sudah sepatutnya fungsi dan kedudukan Batam ditentukan dalam rencana struktur tata ruang Provinsi Kepulauan Riau, berkoneksi dengan penentuan fungsi dan kedudukan wilayah kota dan kabupaten lain yang masuk dalam wilayah provinsi ini. Dalam struktur tata ruang itu, fungsi Batam sebagai kota industri, perdagangan, alih kapal serta sentra pariwisata tetap dipertahankan. Sembari itu, pemerintah provinsi harus terus berupaya mendorong peningkatan daya saing Batam, melalui berbagai upaya seperti penciptaan iklim usaha yang sehat, penegakkan hukum yang transparan serta maksimalisasi pelayanan kepada para investor. Penerapan FTZ di wilayah Batam, Bintan dan Karimun (BBK), juga merupakan upaya nyata untuk pemerataan pembangunan yang berkesinambungan.

Perlu disadari, penguatan fungsi dan kedudukan Batam ini pada hakekatnya ditujukan bagi upaya mendorong percepatan pertumbuhan pembangunan di kota dan kabupaten lain dalam lingkup Provinsi Kepri. Adalah tidak mungkin membiarkan sentralisasi kekuatan ekonomi, politik serta sosial, bertumpu pada Batam semata. Konsekwensinya terlalu besar dan hanya akan membawa Batam menjadi the primate city. Kota makan kota. Penerapan fungsi utama kabupaten dan kota di Provinsi Kepulauan Riau ini diibaratkan rumah besar yang masing-masing memiliki fungsi tersendiri seperti ruang tamu, ruang tidur, ruang makan, keluarga, dapur, termasuk gudang sekalipun.



Untuk memformulasikan struktur tata ruang Provinsi Kepri yang secara geografis memiliki wilayah laut yang lebih luas ketimbang daratan, memang diperlukan konsep serta kajian tepat. Karakteristik serta geografis wilayah, diletakkan pada tempatnya. Keunggulan kompetitif dari masing-masing daerah mesti didorong untuk saling bersinergi untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi kawasan. Satu wilayah dengan wilayah yang lain, tidak bisa saling mensubstitusi (saling menghilangkan), tetapi mutlak berkomplementer (saling membutuhkan).

Dalam konteks ini, Batam yang sejak awal di-set menjadi kawasan khusus, telah mengejawantahkan konsep pembangunan kota yang tidak ‘rakus fungsi.’ Skenario pembangunannya mendasarkan diri kepada teori trickle down efect. Yakni pengembangan kawasan Batam-Rempang-Galang, akan mengimbas ke kawasan atau wilayah lain. Hal ini sesuai benar dengan visi Barelang yakni menjadi salah satu lokomotif pembangunan nasional yang memberikan manfaat kesejahteraan bagi kawasan di sekitarnya, serta merupakan pusat pertumbuhan ekonomi regional.

Visi Batam 2030

Visi menjadikan Batam sebagai bandar (kota) dunia madani sejatinya sebuah cita-cita yang bermartabat sekaligus mulia. Namun perlu digarisbawahi bahwa menuju Batam menjadi suatu bandar madani hendaknya tidak berangkat dari sikap latah, sekedar mencontoh kota-kota lain di luar negeri.

Secara fakta, jarang modernisasi yang sejalan dengan madani. Yang sangat mungkin diwujudkan adalah bagaimana menciptakan Batam sebagai kota yang nyaman untuk semua orang. Ruang publik, sarana transportasi untuk mobilitas penduduknya tersedia lengkap dan memadai, pemukiman serta tempat ibadah tertata rapi, keamanan terjaga, dll.

Visi Batam 2030 merupakan sesuatu hal urgen yang harus segera diformulasikan bersama oleh para stake holder. Apalagi Materplan Batam 25 tahun yang pertama yang disusun Otorita Batam tahun 1978, telah berakhir sejak tahun 2004 lalu. Masterplan Batam jilid II itu kelak akan bernilai strategis dan menentukan arah pembangunan Batam untuk jangka waktu 25 tahun mendatang.

Akan hal itu, BJ Habibie sebagai Ketua Otorita Batam periode 1978-1998, menjabarkan pemikiran bahwa visi Batam di masa depan Batam, tidak hanya bertumpu pada penguatan industri, perdagangan, alih kapal serta pariwisata. Lebih dari itu, Batam juga harus menjadi pusat keunggulan perbankan, kesehatan, pengangkutan kapal kontainer, perbaikan kapal laut dan pesawat terbang termasuk outsourcing nasional dan global.

Dengan memperhatikan tren pertumbuhan seperti sekarang ini, banyak indikator yang dapat dijadikan acuan dalam menyusun Visi Batam 2030. Satu di antaranya adalah mengenai penduduk. Pada awal pengembangan Batam, Otorita Batam memprediksi penduduk Batam pada tahun 2004 berkisar 700.000 jiwa. Ternyata, menginjak tahun 2004, jumlah itu mendekati kebenaran. Bagaimana dengan tahun 2020, 2025 atau 2030?

Banyak teori yang dapat dijadikan acuan untuk memproyeksi pertumbuhan penduduk tersebut. Tapi biarlah para ahli demografi yang menghitungnya lebih teliti. Bagi masyarakat awam, cukup kiranya dengan berandai-andai yakni dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 5% saja per tahun, penduduk Batam pada tahun 2030 akan menyentuh angka 2 hingga 2,5 juta jiwa. Setara dengan jumlah penduduk Singapura (pada akhir abad 20) atau akhir tahun 1990-an. Jumlah yang cukup besar untuk ukuran wilayah yang hanya sebesar Pulau Batam ini. Ini artinya, kelak Batam bakal menjadi kota ‘pulau’ terbesar di tanah air.

Tingginya jumlah penduduk Batam tersebut, suka tidak suka menghadapkan Batam pada berbagai persoalan yang menuntut antisipasi sejak dini. Satu di antaranya adalah pemukiman. Dengan penduduk yang menyentuh angka dua juta jiwa, pemukiman menjadi persoalan yang pelik. Itu lantaran lahan yang dimiliki Batam sangat terbatas.

Akan hal ini, sejak awal Otorita Batam bersama Pemerintah Kota telah menggagas serta mendorong para pengusaha untuk mengembangkan kawasan pemukiman dengan konsep vertikal. Berbagai insentif telah diberikan seperti pengurangan tarif UWTO terhadap lahan yang akan dibangun. Namun upaya ini belum dapat teraplikasi maksimal karena kalangan pengusaha menganggap secara bisnis, membangun pemukiman vertikal kurang menguntungkan. Akibatnya bisa ditebak, konsentrasi mereka lebih tersedot untuk membangun pemukiman berkonsep horizontal.

Dilema lain yang muncul akibat tingginya jumlah penduduk adalah kemacetan lalu lintas. Oleh karenanya, sejak sekarang, para pengambil kebijakan harus segera menyusun grand design sarana dan prasarana transportasi Batam. Untuk jangka pendek, kemacetan di berbagai titik dapat diatasi dengan perluasan areal jalan, pembangunan under pass hingga flyover. Namun solusi itu harus dibarengi dengan penerapan kebijakan yang ‘berani.’ Seperti penghentian kebijakan untuk mendatangkan kendaraan bekas, perlindungan/pembatasan terhadap ijin trayek hingga larangan operasi bagi taksi plat hitam.

Pembangunan under pass di Pelita yang membelah jalur Seraya-Baloi atau sebaliknya ini, telah dirancang sejak lama dan merupakan bagian dari rencana jangka panjang Otorita Batam. Mulai dioperasikan sejak akhir tahun 2007, under pass Pelita dibangun sebagai jawaban untuk mengatasi penumpukan kendaraan di jalur Pelita menuju ke Seipanas atau sebaliknya. Untuk masa mendatang, masih diperlukan lagi beberapa under pass bahkan fly over antara lain di Simpang BNI (underpass) serta fly over di Simpang Baloi.



Penambahan areal jalan arteri juga telah dilakukan Otorita Batam dengan membangun jalan pesisir pantai yang menghubungkan Bengkong-Batam Center- Bandara. Jalur ini kini tengah dalam tahap pembangunan dan diperkirakan selesai dalam beberapa tahun ke depan. Bila rampung, jalur pesisir pantai ini diharapkan dapat mengalihkan penumpukan konsentrasi kendaraan yang selama ini melintas di jalan arteri Nongsa-Batam Center-Bandara.



Sementara itu, di satu sisi, dengan keterbatasan jalan dan sarana transportasi yang memadai, pemerintah Kota bersama dengan Otorita Batam harus sudah mulai mewujudkan pengoperasian mass rapid transit (MRT). Penambahan armada taksi dan bus, seperti yang dilakukan selama ini, pada hakekatnya merupakan solusi yang sifatnya jangka pendek, parsial dan belum mampu menyelesaikan secara tuntas permasalahan transportasi di Batam.

Karena bagaimanapun, kini, MRT atau alat transportasi massal sejenisnya, merupakan jawaban sekaligus solusi terbaik untuk mengatasi masalah transportasi darat. Di banyak negara, sistem tersebut sudah terbukti aplikatif dijalankan.

Sekedar menyontoh, pada tahun 1862, AS melalui Abraham Lincoln, menerbitkan Pacific Railway Act, yang menghubungkan pantai Barat dan Timur sepanjang 1.774 mil. Terbukti, jalur kereta yang dibangun itu hingga kini tetap menjadi sarana transportasi andalan dan secara tidak langsung ikut mendorong pencapaian California menjadi salah satu dari 10 kekuatan ekonomi dunia.

Demikian halnya dengan Belanda. Sesuai dengan kepentingannya, mereka memprioritaskan pembangunan jaringan KA di Pulau Jawa dan menjadikannya sebagai transportasi utama untuk mobilitas barang dan orang. Karena bagaimanapun, kapasitas angkut kereta bisa mencapai 40 hingga 70 ribu orang per arah tiap jam, dibanding bus yang hanya 20 ribu orang.

Sejak tahun 1980-an, Otorita Batam sudah menggagas pembangunan serta pengoperasian MRT di Batam. Dalam perencanaannya, pada tahap awal, bakal dibangun rute Bandara Hang Nadim (Kabil)-Batam Center.



Rute ini tidak melewati jalan protokol, namun langsung melewati pesisir pantai hingga tembus ke Batam Center. Meski study-nya sudah dibuat, namun hingga kini, oleh karena berbagai sebab terutama finansial, pengoperasian kereta listrik massal ini belum belum dapat diwujudkan.

Untuk transportasi laut, dalam beberapa tahun, bukan tidak mungkin terjadi perubahan dan penyesuaian posisi Terminal Ferry Batam Center. Pelabuhan internasional ini bisa saja bergeser lokasinya ke tengah laut. Ini diakibatkan oleh aktifitas reklamasi pantai di sekitaran lokasi pelabuhan. Gencarnya reklamasi itu menyebabkan pendangkalan dan penyempitan alur yang selama ini jadi jalur utama lalu-lintas ferry dari dan menuju pelabuhan.

Pergeseran lokasi pelabuhan dan dermaga ini tidak serta merta menghapus fungsi, justru makin menguatkan keberadaan pelabuhan baik dari sisi geografis maupun ekonomis. Karena di lokasi yang baru, selain berfungsi sebagai terminal ferry, di gedung yang sama dapat dibangun pusat bisnis seperti shopping centre, restoran, café hingga tempat hiburan. Apalagi akses dari resor, golf course serta hotel yang tersebar di sepanjang pesisir Nongsa, menuju ke pelabuhan menjadi makin dekat, ditempuh hanya dalam hitungan menit.

Bentuk dan Struktur Kota Masa Depan


Dengan berbagai pertimbangan seperti diuraikan terdahulu, terutama dilihat dari segi jumlah dan pertumbuhan penduduk dengan berbagai macam kebutuhan pelayanannya, dikaitkan dengan kebutuhan ruang yang makin terbatas, pada akhirnya akan berdampak luas pada bentuk dan struktur kota. Kota pada dasarnya sebuah kota identik dengan organisme hidup, yang bisa tumbuh dan berkembang, sakit bahkan bisa mati. Sakitnya kota antara lain ditandai dengan kemacetan lalu lintas yang parah. Kemacetan lalu lintas ini bisa diibarat manusia yang tersumbat pembuluh darahnya.



Untuk menghindarkan sakitnya sebuah kota alias hidup di perkotaan yang penuh ketidaknyamanan, perlu beberapa kebijakan yang dirancang sejak dini dengan menyusun Rencana Garis Besar Pengembangan (RGBP) untuk tahun 2030. RGBP ini kelak jadi pedoman dasar pembangunan yang pelaksanaannya dilakukan tahap demi tahap. Elemen-elemen dalam RGBP itu di antaranya mencakup:

- Pemukiman. Untuk menampung atau mengakomodir jumlah penduduk antara 2 hingga 2,5 juta jiwa, kalau dilihat kondisi perumahan di Batam saat ini, maka dapat dipastikan sektor ini akan menyita seluruh lahan yang tersedia. Sehingga ruang ruang terbuka sebagai paru-paru kota, tidak memiliki area yang memadai. Karenanya, satu-satunya jalan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan membangun kawasan pemukiman berkonsep vertikal. Pembangunan pemukiman vertical ini tidak bisa ditunda-tunda lagi mengingat pertumbuhan penduduk yang disertai dengan kebutuhan perumahan, makin meningkat dari tahun ke tahunnya. Sementara itu, persoalan pemenuhan kebutuhan ruang dapat dilaksanakan dengan revitalisasi bagian kota, khususnya pemukiman.

- Transportasi dan Sirkulasi. Dengan pola pemilikan kendaraan seperti yang kini dijalankan, maka dapat dibayangkan bahwa transportasi di Batam yang pada tahun 2030 memiliki penduduk 2,5 juta jiwa, akan sangat padat dan ruwet. Pada gilirannya kondisi ini berakibat pada borosnya penggunaan bbm serta waktu yang terbuang percuma oleh penduduk Batam karena kemacetan di jalan raya. Untuk itu pilihan moda angkutan umum masal harus menjadi pilihan utama dengan moda angkutan berkapasitas banyak. Mass Rapid Transit, mungkin belum perlu unsur rapid-nya untuk tahap awal, -karena jarak tempuh antara titik satu dengan lainnya relatif pendek-,. Tapi yang lebih penting adalah bagaimana, dalam sekali waktu, dapat mengangkut penumpang dalam jumlah banyak. Dengan mass transport ini juga, kita bisa mem-by pass pelebaran jalan, maupun membangun fly over dan underpass.

Untuk sirkulasi, sebagai cara perpindahan dari satu tempat ke empat lain yang relatif sangat pendek, semisal dari rumah ke sekolah atau ke tempat bekerja, seyogyanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki atau sepeda.

Tapi ini tentunya harus didukung dengan fasilitas yang nyaman untuk melaksanakan aktivitas tersebut. Seperti tersedianya pedestrian yang lapang dan nyaman dengan pohon pelindung dan peneduh serta tersedianya bicycle path atau jalur khusus sepeda. Ataupun pedestrian yang membuat orang nyaman bergerak dari satu gedung ke gedung lainnya.

Khusus pedestrian ini, dalam beberapa dekade, terus menjadi perhatian bagi para planner hinggá pemerhati mengenai tata kota. Seperti tulisan Saptono Istiawan yang termaktub dalam Harian Kompas edisi 30 November 2007. Dalam artikelnya bertajuk “ Kapan Kita Perhatikan Pejalan Kaki,” Saptono menyebut bahwa di kota-kota besar di Indonesia, cenderung dibangun seperti bukan untuk pejalan kaki.



Ini menimbulkan kesan, semua dana yang ada hanya diperuntukkan bagi kelancaran lalu lintas kendaraan bermotor. “Dalam sistem transportasi suatu kota, yang paling penting ternyata adalah pejalan kaki, sebab setiap permulaan dan akhir pencapaian selalu hanya bisa dilakukan dengan berjalan kaki, awal dan akhir pergerakan dengan berjalan kaki.” Lebih jauh, Saptono mengungkapkan, keberadaan jalur pejalan kaki mencerminkan sikap pemerintah kota yang memberi kemudahan/respek bagi semua warganya tanpa pandang bulu. “ Setidaknya pedestrian itu jelas akan meningkatkan kontak visual bagi sesama warganya.”

Ilustrasi lainnya adalah Kota Bogota di Columbia, sebanyak 30 persen penduduknya yang berjumlah 6,5 juta jiwa, menggunakan sepeda dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Kota yang luasnya hampir setengah dari kota Jakarta menyediakan prasarana jalur khusus sepeda sepanjang 350 km. Sedangkam di Amsterdam, Belanda, jalur khusus sepeda yang dikombinasikan dengan jalur trem (sebagai angkutan massalnya), merupakan pilihan yang telah dilakukan sejak awal kotanya dibangun hingga sekarang. Sayangnya di Indonesia, sejalan dengan perkembangan pertumbuhan kota, jalur tersebut malah dihilangkan. Contoh Jogya atau Solo, dulu punya jalur lambat yang dipergunakan khusus untuk sepeda.




Energi, sebagai utilitas utama penduduk dalam melaksanakan aktivitasnya perlu menjadi perhatian utama, dengan memilih energi alternatif lain yang terbarukan. Sesuai dengan karakteristik wilayah kepulauan, pengembangan pembangkit tenaga listrik dapat dimulai dengan mengembangkan tenaga surya, gelombang ataupun angin. (Teknologinya sudah digunakan oleh Negara-negara Eropa seperti halnya Wind Mollen,



kincir angin). Sementara itu, di tanah air sendiri, penggunaan tenaga surya sebagai energi alternatif, sudah diterapkan di beberapa tempat, sebagai jawaban atas krisis minyak bumi yang berbahan baku fosil. Dua di antaranya diaplikasikan di Kelurahan Kameloh Baru, Kecamatan Sabanggu, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Warga di wilayah itu sejak tahun 2007 telah mendapat bantuan gratis pembangkit listrik tenaga surya dari pemerintah.



Di Pantai Parang Rucuk, Gunung Kidul, DIY, warga juga sudah memanfaatkan sel surya dari tenaga matahari sebagai pembangkit listrik. Panel-panel surya itu sudah dipasang warga sejak tahun 2005-(Kompas, 8 Mei 2008).



Sedangkan, penataan dan pengelompokkan satuan energi yang berbasis pada small community dapat diefektifkan, terutama untuk pulau-pulau kecil yang sulit dijangkau transportasi. Demikian halnya dengan penerangan umum di jalan, traffic light bisa menggunakan tenaga surya karena daya yang dibutuhkan tidak besar.

Pada akhirnya secara garis besar, dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai “Kota Nyaman Masa Depan,” atau Bandar Madani, dapat dirintis dengan mendirikan bangunan vertikal yang didukung oleh sistem angkutan masal (sebagai ciri kota-kota modern di dunia). Madani yang pada hakekatnya cerminan dari kota berbudaya, harus dibangun dengan pendekatan budaya yang saling kait mengkait antara penduduk yang satu dengan yang lainnya. Hal ini dapat dilakukan dengan menciptakan sirkulasi inter dan intra, dalam suatu neighbourhood (small community) dengan berjalan kaki atau sepeda yang kanan kirinya tersedia taman-taman kota. Ini semua dilakukan untuk mendorong interaksi langsung antar sesama anggota masyarakat. Konsep tersebut, pada dasarnya merupakan pengejawantahan satu tatanan kota menuju apa yang disebut back to nature, seperti yang dicanangkan pakar perncanaan kota masa lalu Ebenezer Howard dengan garden city-nya.

No comments:

Post a Comment