Wednesday, February 4, 2009

Cover

Sekapur Sirih Ketua Otorita Batam

Asalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh,

Sejak dibangun tiga dasawarsa lebih, Pulau Batam telah mengalami perkembangan signifikan yang secara langsung tidak saja memberi manfaat bagi masyarakat Batam tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah sekitar bahkan nasional. Pencapaian ini tidak terlepas dari pelaksanaan pembangunan Batam yang berkesinambungan, sistematis, konsisten dan tentunya peran para perintis pembangunan serta dukungan penuh masyarakat.

Dalam konteks ini, saya menyambut gembira penerbitan buku bertajuk “Ir Joki Muchajar, 30 Tahun Melangkah Bersama Derap Pembangunan Batam.” Meski secara kontekstual, dari segi isi lebih mengerucutkan riwayat sisi pribadi saudara Joki Muchayar, tetapi bila ditelusuri seksama, buku ini secara eksplisit mengurai mengenai kisi-kisi pembangunan Batam, berikut pemikiran-pemikirannya mengenai Batam di masa depan.

Sebagai pegawai Otorita Batam, saudara Joki Muchajar memang tidak bisa dilepaskan institusi yang telah membangun Batam sejak era 1970-an ini. Ia merupakan salah satu pegawai Otorita yang bekerja di Otorita Batam sejak masa perintisan, tepatnya pada tahun 1978. Masa di mana Batam sedang giat-giatnya memulai pembangunan infrastruktur. Bersama insinyur yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari, saudara Joki Muchajar aktif terlibat dalam penyusunan masterplan Batam. Berbagai jabatan, silih berganti ditekuni hingga mengantarkan dirinya menjadi birokrat yang matang dan sarat pengalaman.

Buku ini, memang tidaklah ditujukan sebagai ajang polemik mengenai peran saudara Joki Muchajar dalam pembangunan Batam. Namun yang pasti tidak bisa dipungkiri, bahwa selama kurun 30 tahun pengabdian, selain suka dan duka, banyak pengalaman baik yang subyektif maupun objektif dalam pembangunan di wilayah ini, yang akan Sangay berguna bagi generasi muda mendatang.

Akhir kata, kami berharap agar buku ini dapat bermanfaat kepada kita semua.
Amin

Wasalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.

Batam, 3 Juli 2008


Ir Mustofa Widjaja

Bagian Satu: Dari Kaki Gunung Gede ke Tangkuban Perahu




Masa Kecil dan Remaja 1950-1969


Joki Muchajar lahir 27 September 1950, di Sukabumi, sebuah kota kecil, terletak persis di kaki Gunung Gede, Jawa Barat. Masa kecil dihabiskan Joki di kota sejuk ini hingga ia menginjak remaja. Ia adalah anak ketiga pasangan Raden Achmad Diredja dan Mariati Widjaja. Bila diurutkan silsilahnya, ayahnya masih merupakan keturunan Raja-raja Padjajaran.

Sebelum menetap dan beranak pinak di Sukabumi, keluarga Achmad Diredja pada mulanya bermastautin di Jakarta. Ayahnya saat itu masih tercatat sebagai pegawai di Djawatan Kereta Api (DKA). Tidak lama berselang, tepatnya tahun 1946, Ahmad Diredja mengundurkan diri, lalu hijrah ke Sukabumi dan beralih profesi menjadi anneemer (pemborong). Ibundanya sendiri, Mariati Widjaja, selain sebagai ibu rumah tangga, pernah aktif terlibat dalam “Putera,” Pusat Tenaga Rakyat (1942-1943).

Keluarga Achmad Diredja tergolong terpandang di Sukabumi. Sebagai anneemer yang saat itu jumlahnya masih segelintir, Ahmad Diredja termasuk yang dikenal sukses lantaran ulet dan disiplin. Tak heran bila selama menjalankan usaha, ia dipercaya mengerjakan proyek-proyek rumah, rumah sakit, sekolah, gereja serta fasilitas umum dan sosial lainnya, termasuk proyek-proyek bantuan Pemerintah Belanda.




Di pangkuan Ibunda bersama kakak laki-laki dan perempuan.




Joki kecil dengan seragam TNI AL.


Di mata Joki dan dua kakaknya Jerry Achyar dan Siti Rochma, Achmad Diredja adalah sosok ayah yang disiplin dan keras. Teliti di segala hal. Di pekerjaan, ia yang sesekali membawa serta anaknya meninjau lokasi proyek, dengan seksama meneliti hasil kerja anak buahnya sampai tuntas. Bila dirasa kurang pas, ia tak segan-segan mengambil tindakan tegas, seperti merobohkan pagar yang dibangun anak buahnya, lalu memerintah mereka membangun kembali di bawah pengawasannya agar hasilnya sesuai dengan spesifikasi.

Begitulah, disiplin yang melekat di karakter ayahnya itu ditunjukkan pula dalam mendidik anak-anaknya. Hal itu dirasakan benar olehnya dan kedua kakaknya. Selama masa-kanak-kanak hingga tamat SMA, ayahnya konsisten mendoktrin bahwa belajar keras merupakan satu keharusan. Hasilnya, sejak SD, SMP hingga SMA, prestasi yang ditorehkan anak-anaknya lumayan baik.



Joki bersama dengan teman-teman semasa SD di SRK Kehidupan Baru, Sukabumi.

Ilmu agama juga tak luput dari perhatian ayahnya. Sejak kecil, ia sudah diharuskan belajar ngaji di hari-hari tertentu. Bahkan ketika SD, ia sempat dimasukkan ke madrasah. Aktifitas ini dilakukannya siang hingga menjelang magrib. Namun meski kegiatan sehari-harinya cukup padat, bukan berarti ia kehilangan masa kanak-kanaknya. Ia tetap seperti anak-anak lain yang suka bermain-main di waktu luang.

Di mata teman-teman sepermainannya dulu, Joki kecil tergolong anak yang lumayan nakal. “Dia itu pintar. Tapi agak nakal. Dan kebiasaannya yang menonjol, dia itu suka usil. Manas-manasin teman,” ungkap Taufik Herman, yang kini bekerja di Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta. Menurut Taufik, selain dirinya, teman akrabnya yang jadi satu geng waktu kecil adalah Bobby, anak blasteran Belanda-Thailand serta Wiwih, seorang lagi bersuku Tionghoa, anak pemilik toko kelontong dekat rumahnya.

Menurut Taufik, dirinya dan teman-teman sebayanya sering mengabiskan waktu luang dengan bermain di pematang sawah yang letaknya di belakang rumah orang tua. Atau kalau tidak, mereka cukup bermain di halaman depan rumahnya, mulai dari bermain kucing-kucingan, tendang kaleng sampai kelereng. “Kami juga sering sekali manjat pohon Pala yang terletak di halaman depan rumah. “Kalau sudah panjati pohon itu, kami sering lupa waktu,” ingat Taufik.

Semasa sekolah dasar, lanjut Taufik, Joki di mata para guru dan teman-teman tergolong anak yang pandai. Rajin belajar serta berdisiplin. Tak heran bila selama bersekolah di SD Kehidupan Baru, Sukabumi, ia termasuk murid yang berprestasi dan sering membuat terkesan para guru yang mengajarnya.

Rekan semasa kecil lainnya, Yoshita atau yang akrab dipanggil Itok, menganggapnya sebagai anak bungsu yang manja dan cenderung agak pemalu. “Kalau saya main ke rumahnya, dia dulu tidak pernah nyamperin saya. Saya justru lebih akrab dengan kakak-kakaknya,” tutur Yoshita, yang waktu kecil kerap diajak orang tuanya berkunjung ke rumahnya. Ayah Yoshita, Jayadi Sastra juga seorang anneemer, sama halnya dengan profesi orang tuanya.

Dengan Joki, Yoshita memang tidak begitu akrab. Tapi sewaktu duduk di bangku Sekolah Dasar, keduanya selalu satu kelas sejak kelas satu hingga menginjak kelas enam. Seingatnya, kalau sedang berada di rumah orang tua Joki, ia sering melihatnya diolok-olok oleh kedua kakaknya. “Kalau sudah begitu, biasanya dia marah dan langsung ngambek. Ya begitulah seingat saya, kira-kira sifatnya semasa kami sama-sama masih kanak-kanak,” kenang Yoshita

Selain senang bermain bulutangkis dan tennis meja, Joki sewaktu kecil keranjingan sepakbola. Hobby bermain sepakbola inilah yang kerap membawanya, berhadapan dengan sang ibu yang sudah menunggu di depan pintu rumah sembari membawa kemoceng di tangan, siap menghardik bila lambat pulang. Ibunya, seperti juga sang ayah, juga merupakan sosok tegas dan disiplin mendidik anak.



Dengan teman - teman sekelas di SMA Mardijuana, Sukabumi


Tahun 1969, Joki menamatkan SMA-nya di SMA Mardi Yuana dan keluar sebagai satu di antara 10 siswa berprestasi di sekolahnya. Dengan bekal rasa percaya diri yang tinggi, ia bersama-sama dengan teman-teman seangkatannya, mendaftar tes masuk ke Institut Teknologi Bandung (ITB). Saat itu, di kalangan siswa-siswi Sukabumi, ITB bersama dengan Universitas Padjadjaran (Unpad) merupakan dua perguruan tinggi favorit yang jadi benchmark sekaligus kebanggaan bagi siapa saja yang berhasil lolos menjadi mahasiswanya. Kalaupun ada yang berminat di perguruan tinggi lain, jumlahnya tidaklah banyak.

Namun, ada juga di antara rekan-rekannya kala itu yang tertarik mendaftar ke AKABRI di Magelang. Waktu kecil hingga duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), Joki sempat mengidolakan profesi menjadi anggota AKABRI. Namun karena dorongan orang tua yang menginginkannya menjadi arsitek, niat menjadi tentara itu pun diurungkannya. Akhirnya konsentrasi menyiapkan diri untuk mengikuti tes masuk di ITB mengambil jurusan arsitek dan teknik sipil. Di ITB, selain jurusan mesin, elektro, jurusan arsitek dan sipil termasuk dalam lima besar jurusan favorit yang diminati banyak calon mahasiswa.

Pada masa itu, melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi di Kota Bandung merupakan dambaan bagi sebagian besar lulusan Sekolah Lanjutan Atas di Sukabumi.

Kota Bandung, selain menawarkan beragam perguruan tinggi dengan mutu pendidikan yang mumpuni, dianggap memiliki kharakteristik berbeda yang tidak didapati di kota-kota lain di Pulau Jawa. Karena itulah, banyak di antara mereka yang menganggap kota dengan julukan “Paris Van Java” ini sebagai kota idaman untuk menuntut ilmu sekaligus tempat bermukim.

Tapi, Dewi Fortuna agaknya belum menaunginya. Usaha kerasnya belum membuahkan hasil setelah namanya ternyata tidak tercantum dalam daftar calon mahasiswa yang diterima di ITB. Kenyataan ini, sempat membuatnya down. Tapi kondisi itu tak berlangsung lama, atas dukungan orang tua, maka dipilihlah Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai tempat untuk melanjutkan studi. Syukurnya, langsung diterima di IPB dan mengambil Jurusan Kehutanan. Namun karena yang ada di benaknya hanyalah ingin menjadi arsitek dan arsitek, maka diputuskan untuk tidak meneruskan studi di kampus ini.

Di tengah ketidakpastiannya itu, ayahnya mengajak untuk mendaftar ke Universitas Trisakti Jakarta. Tapi lagi-lagi belum garis takdir, kepergian keduanya ke Jakarta juga tak membuahkan hasil lantaran saat itu Universitas Trisakti sudah menutup pendaftaran bagi mahasiswa baru.

Upaya meneruskan studi dan meretas cita-cita menjadi arsitek ini, memang tak hanya sampai di situ. Akhirnya, disepakati untuk mendaftar di IKIP Bandung mengambil Jurusan Arsitek di Fakultas Keguruan Ilmu Teknik. Di kampus itu, meski bukan kampus favoritnya, tetap tak pernah surut belajar keras untuk mewujudkan ambisinya menjadi insinyur.

Sembari kuliah, ia masih menyempatkan diri mengikuti program bimbingan belajar di Salman Bimbingan Tes, satu lembaga bimbingan belajar cukup ternama di Kota Bandung saat itu. Ini dilakukannya alih-alih sebagai persiapan mengikuti saringan ujian masuk ke ITB, kampus dambaannya.



MAPRAM di IKIP Bandung.




Ikut dalam tim basket sewaktu di IKIP Bandung.



Kuliah sambil mengikuti program bimbingan belajar, tentu membutuhkan konsentrasi yang tinggi serta menyita waktu dan tenaga. Namun demikian, semua itu cukup berhasil dijalankannya selama tidak kurang dari setahun. Kerja kerasnya itu akhirnya berbuah manis. Pada ujian penerimaan mahasiswa baru ITB tahun 1971, Joki menjadi salah satu peserta yang dinyatakan lolos seleksi, diterima di jurusan planologi, disiplin ilmu yang memang diidam-idamkan sejak lama.

Meski sudah resmi jadi mahasiswa ITB, ia lantas tidak serta merta meninggalkan kampus lamanya, IKIP Bandung. Beberapa bulan lamanya, dijalaninya kuliah di dua tempat. Hanya saja seiring dengan perjalanan waktu serta mulai padatnya aktifitas serta tugas-tugas kampus, atribut mahasiswa dari Kampus IKIP Bandung itu akhirnya dilepaskannya. Setelahnya, benar-benar fokus menimba ilmu di Kampus ITB.




Masa-masa kuliah di ITB, bersama dengan rekan sekampus.



Kuliah di jurusan serta perguruan tinggi favorit membuatnya menjalani masa-masa kuliah di ITB dengan semangat tinggi serta lihai mengatur ritme belajar dengan aktifitas non akademik. Di Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), hampir tak pernah ada kegiatan yang digelar bersama rekan se-kampus, luput dari keterlibatannya.




Menjadi panitia penerimaan mahasiswa baru ITB angkatan 1972. Di samping Joki adalah Prof. DR. Doddy Tisna Amidjadja, Rektor ITB.


Pada waktu penerimaan mahasiswa baru ITB tahun 1972, ia termasuk anggota HMJ yang aktif menyokong di kepanitiaan. WALAWA (Wajib Latih Mahasiswa) juga diikutinya melalui pelaksanaan pelatihan di Kamp Pelatihan WALAWA di Lembang.





Aktif di WALAWA.






Bersama ayah dan ibu Emmy.


Di kampusnya ITB ini pula, ia bertemu dengan Emmy Aviastuti, yang kelak menjadi pendamping hidupnya hingga kini. Emmy adalah adik tingkatnya, mahasiswi angkatan tahun 1974, putri keluarga Marsekal Muda Soekotjo. Ia mengenal Emmy yang sejak dikenalnya dilanjutkan dengan menjalin hubungan asmara sejak tahun-tahun pertama perempuan kelahiran Bogor itu mulai kuliah di kampusnya.

Masa-masa pacaran dijalani keduanya seperti halnya pasangan muda-mudi pada masa itu. Hubungan ini terus berjalan meski ia telah lulus kuliah. Tahun 1982, Joki menikahi Emmy, beberapa tahun setelah anak kedua dari lima bersaudara itu menyelesaikan SI-nya.



Mendampingi sang kekasih sesaat setelah adik kelasnya itu diwisuda.




Mempersunting Emmy, tahun 1982.


Joki juga selalu menyempatkan ambil bagian di berbagai proyek praktik lapangan seperti survei lalu lintas hingga survei perencanaan sawah pasang surut Sungai Siak, Riau. Termasuk bekerja di LPP-ITB (1974-1975) serta Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Tingkat I Jawa Barat, sebagai Asisten Proyek (1975-1976).

Selanjutnya, pendidikan SI-nya diselesaikan pada tahun 1977. Setelahnya, kemudian bekerja di Subdit Perencanaan Jalan Kota Ditjen Bina Marga Departemen PUTL, Jakarta sebagai staf perencanaan bersama dengan beberapa rekan seangkatannya di ITB.



Wisuda Sarjana ITB tahun 1977.




Diapit ayahanda dan ibunda, setelah wisuda S1-nya.

Baik di Bina Marga maupun di Konsultan, yang bergerak dalam bidang transportasi yang ditekuninya setelah resigned dari Bina Marga, karena keinginannya yang besar untuk menerapkan “ilmu perkotaannya,” maka diterimalah tawaran dari mantan dosennya di ITB yakni Ir SL Tobing sebagai tenaga teknis di Otorita Batam. Baginya, tawaran tersebut merupakan kesempatan langka yang tidak datang dua kali.

Pikirnya, dengan bekerja di Otorita Batam, berarti bakal terlibat langsung dalam proses membangun sebuah kota baru. Sebuah tantangan yang dianggap sejalan dengan obsesinya meniru bagaimana pakar planologi Jepang Kenzo Tange membangun Kota Tokyo. Di tahun 1978 itu, ia resmi menjadi pegawai Otorita Batam, Jakarta dan bertugas di Departemen Perencanaan dan Teknik.

Bagian Dua: Periode awal Pembangunan Batam (1970-1978)




Latar Belakang Pengembangan


Secara geografis, Pulau Batam yang berluas 415 Km2, berada di jalur lalu lintas internasional, yang merupakan jalur perdagangan internasional paling ramai kedua setelah Selat Dover di Inggris. Pulau ini hanya berjarak 20 Km sebelah Selatan Singapura. Seperti halnya pulau-pulau di wilayah perbatasan pada umumnya, pulau ini pada awal tahun 1960-an, nyaris kosong, tanpa pemusatan penduduk dan kegiatan ekonomi lainnya.

Kendati demikian, terdapat kelompok penduduk yang telah ratusan tahun mendiami pulau ini. Mereka adalah penduduk tempatan yang menetap menyebar di sepanjang pesisir pantai. Sebagain besar, mereka berprofesi sebagai penangkap ikan dan sebagian lagi bercocok tanam. Di masa awal ini, mereka samasekali tidak banyak terlibat dalam mengubah fisik pulau ini yang waktu itu masih berupa hamparan hutan.

Memasuki masa konfrontasi Indonesia-Malaysia di tahun 1963, Batam yang awalnya tidak begitu menjadi perhatian pemerintah, dengan timbulnya peristiwa yang oleh Presiden RI pertama Ir Soekarno kerap disebut “Ganyang Malaysia” ini, tiba-tiba mulai dilirik. Terlebih saat Batam bersama dengan pulau-pulau lainnya di Riau Kepulauan ini dijadikan sebagai Pangkalan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Dengan posisinya yang amat dekat dengan Singapura, Batam secara geografis dianggap sebagai tempat paling strategis untuk melihat pergerakan musuh di seberang laut.

Di masa ini, Soeharto yang kemudian hari menjadi Presiden RI ke-2, menjadi bagian dari prajurit militer Indonesia yang bertugas di wilayah konflik di perbatasan ini. Setelah berbulan-bulan menjaga dan mengamati wilayah perbatasan ini, ia menilai sesungguhnya Batam dan Singapura adalah dua pulau kembar. Hanya saja kondisinya jauh berbeda. Pulau Batam dianggap oleh Soeharto sebagai pulau yang tengah tertidur.

Sebagai prajurit, Soeharto memandang Batam tidak saja saja dari sudut pandangan militer (keamanan), tapi lebih dari itu. Ia juga mencoba melihat Batam dari sudut politik, geopolitik dan ekonomi. Sosok Soeharto sudah memprediksi jika Pulau Batam dikembangkan dengan sungguh-sungguh, niscaya di masa mendatang bisa mengangkat kewibawaan Indonesia dalam percaturan dunia. Ia bahkan menilai Batam bakal menjadi barometer politik di kawasan Asia Tenggara. Sedang secara ekonomi, kawasan di sekitar Pulau Batam memiliki prospek yang cerah karena berada di jalur perdagangan internasional.

Pasca Konfrontasi Malaysia-Indonesia berakhir dan Soeharto diangkat menjadi Presiden RI menggantikan Soekarno, menginginkan agar Pulau Batam segera dibangun. Presiden Soeharto menetapkan Batam sebagai Pangkalan Logistik dan Operasional yang berhubungan dengan eksploitasi dan eksplorasi minyak lepas pantai.



Ketua Otorita Batam BJ Habibie memaparkan maket rencana pengembangan Batam Centre


Melalui Keppres No.65/70, Presiden Soeharto akhirnya memerintahkan PN Pertamina sebagai penangungjawab atas pelaksanaan pembangunan proyek tersebut. Kemudian memasuki tahun 1971, Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres No. 74/71 mengenai Pengembangan Pulau Batam menjadi Daerah Industri sekaligus menunjuk Direktur Pertamina Ibnu Sutowo, sebagai penanggungjawab.





Dengan Ibnu Sutowo, Ketua OPDIPB pertama




Dengan penerbitan Keppres tersebut semakin memperkokoh tiang pancang Ibnu Sutowo bersama Pertamina untuk mengembangkan Pulau Batam. Dalam Keppres tersebut, Pulau Sambu di sebelah barat daya Pulau Batam, juga ditetapkan sebagai pangkalan minyak Pertamina. Sedangkan poin penting lainnya berupa penetapan Batuampar sebagai daerah industri dengan status entreport partikulir untuk memfasilitasi kegiatan basis logistik dan operasional Pertamina.

Masterplan Pertama (1972)

Guna mempercepat perwujudan pengembangan Pulau Batam, Pertamina yang juga diserahi tugas mengongkosi finansial proyek ini, membuat kajian masterplan (rencana induk) pada tahun 1972. Dalam penyusunan masterplan Batam yang pertama ini, Pertamina menggandeng konsultan Nissho Iwai Co. Ltd dari Jepang serta Pasific Becthel Inc dari Amerika Serikat. Hasil kajian ini merekomendasikan strategi pembangunan Batam yang bertitik berat pada industri eksplorasi minyak dan gas serta pusat pemrosesan produk ikutannya, yakni pusat industri petroleum dan petrokimia. Awal dasawarsa 1970-an sektor minyak memang sedang menjadi primadona karena harga minyak di pasar dunia sangat kuat. Di samping itu, posisi geografis Batam yang terletak di simpang jalur lalu lintas Asia Barat-Asia Timur, sangat strategis untuk dapat menarik manfaat dari jalur distribusi minyak yang ada.




Hanya saja, kajian Nissho Iwai-Pasific Becthel ini tak terealisasi, padahal lokasi Batam sangat memungkinkannya. Tiga puluh tahun kemudian, Singapura, justru membuktikan kebenaran substansi kajian Nissho Iwai-Pacific Bechtel. Dengan konsistensi kebijakannya di sektor industri petroleum, negara pulau itu berhasil menempatkan dirinya sebagai oil-refinery center terbesar ketiga dunia. Padahal, Singapura samasekali bukan negara produsen minyak.

Lahirnya Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (OPDIPB)

Memasuki tahun 1973, guna memantapkan langkah pengembangan Pulau Batam Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres No. 41/73. Keppres ini menetapkan Pulau Batam sebagai lingkungan kerja daerah industri, dan Ibnu Sutowo dikukuhkan sebagai Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (OPDIPB). Sementara wilayah pembangunan ini meliputi Pulau Batam, Pulau Janda Berhias, Pulau Ngenang, Pulau Tanjung Sauh, Pulau Moi-moi dan Pulau Kasem.

Sebagai badan pemerintah yang bertanggungjawab atas pengembangan pertumbuhan Daerah Industri Pulau Batam, maka berdasar Keppres tersebut, OPDIPB mempunyai tugas sebagai berikut: Mengembangkan dan mengendalikan pembangunan Pulau Batam sebagai Daerah Industri; Mengembangkan dan mengendalikan kegiatan pengalih-kapalan di Pulau Batam; Merencanakan kebutuhan prasarana dan pengusahaan instalasi prasarana dan fasilitas lainnya; Menampung dan meneliti permohonan izin usaha yang diajukan pengusaha serta mengajukannya kepada instansi yang bersangkutan; Menjamin agar tata cara perizinan dan pemberian jasa-jasa yang diperlukan dalam mendirikan dan menjalankan usaha dapat berjalan lancar dan tertib serta menumbuhkan minat para pengusaha menanamkan modalnya di Pulau Batam.

Pembentukan OPDIPB ini sendiri baik langsung maupun tidak langsung memberi benefit bagi para investor. Lantaran keberadaan Otorita Batam pada hakekatnya adalah kepanjangan tangan pemerintah pusat di mana secara keseluruhan memiliki keunggulan-keunggulan seperti anggaran langsung dari pusat. Itu maknanya, nilai anggaran sama sekali tidak bergantung pada APBD. Keberadaan Otorita Batam ini sekaligus memangkas jalur birokrasi yang kerap dikeluhkan para investor. Dengan perizinan yang satu atap serta berbekal fasilitas yang wewenang pusat (pajak,fiskal & moneter), Otorita Batam dapat lebih cepat serta responsif melayani berbagai keperluan yang dibutuhkan para investor.

Bonded Warehouse (1974)

Untuk menunjang pertumbuhan Batam sebagai daerah industri, pemerintah lalu mengeluarkan Keppres Nomor 33 Tahun 1974 yang pada intinya menetapkan tiga wilayah (kawasan) di Batam menjadi bonded warehouse. Tiga wilayah tersebut masing-masing adalah wilayah di bagian Timur Pulau Batam, wilayah di daerah Batu Ampar serta wilayah di daerah Sekupang, bagian Barat Pulau Batam.

Namun dalam aplikasinya, penerapan materi yang ada dalam Keppres ini tidak berjalan mulus. Sebab, tak lama setelah itu mencuat krisis Pertamina yang nyaris menghancurkan perusahaan minyak milik negara tersebut. Untuk meneruskan roda pembangunan di Batam yang sempat stagnan akibat krisis Pertamina tersebut, Pemerintah Pusat lalu mengambil inisiatif dengan mengganti kepemimpinan pembangunan Pulau Batam dari Ibnu Sutowo ke JB Sumarlin yang saat itu menjabat sebagai Menteri Penertiban Aparatur Negara (Keppres Nomor 60/M/1976).

JB Sumarlin sendiri, pasca mendapat mandat Presiden Soeharto langsung melakukan review serta menganalisa landasan dasar pengembangan Batam. Dengan tim bentukannya, JB Sumarlin menginventarisasi seluruh proyek infrastruktur yang dilakukan Pertamina di Batam. Bergerak cukup taktis, sejumlah proyek strategis mulai dikembangkan kembali, seperti pembenahan pelabuhan Kabil serta Batuampar.

Tahun 1978, masa tugas JB Sumarlin sebagai Ketua Otorita Batam berakhir. Selanjutnya, kepemimpinan Batam diteruskan oleh BJ Habibie yang saat itu menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi RI.

Secara umum, kondisi infrastruktur di Pulau Batam pada tahun 1978 ini masih minim. Saat itu belum ada penerbangan langsung menuju Batam. Untuk mencapai Batam, orang dari luar pulau ini harus naik pesawat ke Singapura terlebih dahulu baru setelahnya naik ferry menuju ke Batam. Atau bisa terbang ke Tanjungpinang, dan meneruskan perjalanan ke Batam menggunakan perahu pompong yang memakan waktu tidak kurang dari lima jam.

Penduduk dan Pemukiman

Di tahun 1978 ini, penduduk yang mendiami Pulau Batam ini sekitar 31.800 jiwa. Mereka tersebar di sejumlah sentra pemukiman antara lain Jodoh, Batubesar, Patam, Duriangkang, Seiharapan, Tanjungriau, Waheng, Dapur 12 serta beberapa titik di sepanjang pesisir pantai Batam.

Pada tahun-tahun tersebut, Jodoh menjadi sentra pemukiman penduduk sekaligus pusat perdagangan yang penting di Pulau Batam. Banyaknya penduduk yang menempati area Jodoh ini tidak lain sebagai akibat dari pengembangan kawasan Batu Ampar sebagai kawasan industri dan pelabuhan, terutama industri offshore pertama di Pulau Batam.

Kondisi Jodoh pada masa ini terbilang sederhana. Pemukiman penduduk yang ada menyatu dengan pasar. Bangunan rumah serta kedai-kedai milik penduduk masih terbuat dari kayu. Perkampungan yang berdiri di atas permukaan laut ini terdiri atas komunitas beragam, seperti Melayu, Tionghoa, Batak, Jawa, Padang, Bugis serta suku-suku lainnya. Namun dari berbagai catatan yang ada, dari sekitar 300KK yang menghuni Jodoh, 40 persennya adalah warga Tionghoa.

Keberagaman komunitas di Jodoh ini ditunjukkan dengan adanya nama-nama kampung seperti Kampung Melayu, Kampung Batak, Kampung Bugis, Kampung Jawa serta Kampung Boyan (Bawean) yang letaknya masih di sekitaran Jodoh. Rumah-rumah orang Tionghoa sebagian besar berada di sekitaran pasar Jodoh yang letaknya menjorok, menghadap langsung ke arah laut. Sedangkan kampung-kampung lain terletak agak ke arah darat.



Perumahan Otorita Batam di Bukit Senyun dengan latarbelakang kawasan Jodoh.




Jodoh tahun 1970-an.


Mobilitas penduduk praktis mengandalkan sarana laut, seperti pancung bermesin sederhana terbuat dari kayu dan perahu-perahu dayung. Pompong berperan besar pula mengangkut barang dan orang. Demikian halnya dengan pelantar, menjadi penghubung antara rumah penduduk yang satu dengan yang lainnya. Jalur darat sebenarnya sudah ada berupa jalan tanah yang kondisinya serba apa adanya. Tapi karena belum diaspal, bila turun hujan, mudah becek. Licin.

Sebelum Belakangpadang serta Jodoh tumbuh menjadi sentra perdagangan penting, Pulau Buluh yang terletak di seberang Sagulung, Batu Aji, merupakan pusat perniagaan utama di wilayah ini. Pulau Buluh telah lahir menjadi pusat perniagaan sejak masa pendudukan Belanda hingga Jepang. Dari Pulau Buluh inilah, warga Belakangpadang dan pulau-pulau di sekitarnya termasuk Batam mendapat pasokan untuk kebutuhan sehari-hari.

Pada tahun 1978 ini, Otorita Batam bergiat melakukan pengembangan kawasan industri Batu Ampar. Jodoh yang notabene dekat dekat dengan kawasan industri pionir itu tak luput dari pembenahan. Berbagai upaya dilakukan Otorita Batam untuk menata pemukiman di kawasan tersebut. Meski tidak berjalan mudah, namun pada akhirnya dalam kurun beberapa tahun, perlahan pemukiman penduduk di kawasan ini berhasil dibenahi. Sebagian penduduk dipindahkan di sekitaran Nagoya, Kampung Utama, Baloi, Kawasan Pelita. Sebagian lagi direlokasi ke Sungai Panas dan Bengkong. Jodoh sendiri pasca pembenahan, mulai dibangun pasar serta ruko-ruko permanen dan makin bergeliat menjadi sentra bisnis modern.




Pembangunan di kawasan Nagoya awal 1980-an.




Waduk

Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, Pulau Batam yang tidak memiliki sumber air, seperti sungai, harus membangun waduk untuk menampung air hujan yang selanjutnya akan diolah menjadi air bersih. Waduk yang pertama kali dibangun adalah Waduk Sei Harapan (tahun 1969) tetapi baru beroperasi tahun 1979, dengan kapasitas operasional 222 liter/detik.

Sedangkan Waduk Baloi (tahun 1975), merupakan waduk yang pertama kali beroperasi yaitu tahun 1978, dengan kapasitas operasional 301 liter/detik. Selanjutnya Waduk Nongsa dibangun sejak tahun 1975. Namun baru bisa mulai beroperasi tahun 1980 dengan kapasitas operasionalnya 52 liter/detik.



Sebelum dibangun waduk-waduk tersebut, penduduk Batam sendiri sejak dulu mengandalkan air tadah hujan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Sebagian warga menggunakan air sumur. Namun tidak sedikit yang membeli air bersih dari para pemasok yang menjual air bersih yang didapat dari sumber mata air yang terdapat di sejumlah pulau di sekitar Batam.

Pembangunan waduk di sejumlah wilayah yang dibangun Otorita Batam itu memberi arti penting bagi tercukupinya kebutuhan penduduk Batam akan air bersih. Meski pada awalnya, air bersih yang dihasilkan waduk-waduk tadi difokuskan untuk mensuplai kebutuhan kawasan industri, kantor-kantor sekaligus perumahan yang dibangun Otorita Batam, namun seiring dengan mulai beroperasinya seluruh waduk yang ada, pemukiman-pemukiman penduduk lainnya secara perlahan sudah mulai teraliri.

Listrik

Sebelum mendapat pasokan listrik, penduduk yang tersebar di berbagai sentra pemukiman di Batam mengandalkan petromak serta lampu teplok untuk menerangi rumah-rumah mereka. Itupun jumlahnya amat terbatas, tidak semua rumah punya lampu petromak. Karenanya bila hari menjelang malam, perkampungan-perkampungan warga di Batam serta pulau-pulau sekitarnya, mendapat penerangan seadanya.

Sumber listrik sendiri di Pulau ini baru dimulai ketika Pertamina membangun lokasi pembangkit listrik di Sekupang (4 x 560KVA) dan Batuampar (6 x 1310KVA), sehingga total daya pada saat itu sebesar 7,8 MW. Pembangunan ini selesai sekitar tahun 1973, bersamaan dengan selesainya pembangunan rumah karyawan Pertamina di Sekupang, Bukit Senyum dan Bengkong. Dengan daya yang tersedia itu, Pertamina menyuplai listrik untuk kegiatan operasional proyek semata, termasuk perumahan karyawan tersebut. Sementara layanan listrik untuk penduduk belum menjadi prioritas utama.

Sekitar tahun 1975-an ( pasca menurunnya industri perminyakan), kelistrikan di Pulau Batam dilanjutkan pengelolaannya oleh Otorita Batam dengan nama Unit Pelaksana Teknis Otorita Batam (UPT OB). Pengalihan pengelolaan ketenagalistrikan dari Pertamina ke UPT OB secara umum juga tidak mengalami perubahan terutama di bidang pelayanan ke masyarakat. Pelayanan UPT OB masih sebatas diperuntukkan bagi fasilitas-fasilitas milik Otorita Batam. Karenanya, masyarakat masih menggunakan lampu minyak dan diesel milik perorangan sebagai penerangan di malam hari, terutama di kawasan Jodoh.

Beberapa tahun kemudian, UPT OB meneruskan pembangunan pembangkit di Sekupang dan Batu Ampar. Di Pusat Pembangkit Sekupang dibangun dua unit power house yang masing-masing berkapasitas 4x3MVA dan 4x4,5MW. Sementara di Pusat Pembangkit Batu Ampar, kapasitas pembangkit ditingkatkan menjadi sebesar 4x7,5 MW.

Pada masa ini, orientasi pelayanan listrik dari UPT OB perlahan mulai mengalami perubahan. Selain lebih mengutamakan pasokan sarana dan prasarana milik Otorita Batam, listrik juga diprioritaskan untuk penyambungan industri yang sudah mulai berkembang di Batam. Sedangkan sebagian masyarakat, terutama yang bermukim tidak jauh dari mesin-mesin pembangkit yang dimiliki UPT OB, seperti Sekupang, Tiban, Tanjungpinggir, Batuampar serta Bengkong, sudah mulai menikmati aliran listrik. Pada Januari 1993, masalah ketenagalistrikan yang semula dikelola oleh UPT OB ini dalam perjalanannya kemudian diserahkan kepada PT PLN Persero.

Telekomunikasi

Pada tahun 1978 sampai dengan sekitar tahun 1983, pertelekomunikasian di Batam dikelola oleh Pertamina bersama dengan Otorita Batam, dengan satuan sambungan (SS) / Line Unit (LU) yang ada saat itu sebanyak PABX 10SS/LU.



Memasuki tahun 1983 masalah pertelekomunikasian diserahkan kepada Perumtel (PT Telkom), dengan satuan sambungan (SS)/Line unit (LU) saat ini sebanyak PABX 33.848 SS/LU. Di bidang yang satu ini, Batam juga mencatatkan sejarah sebagai kota pertama yang dijadikan percontohan untuk percobaan pengoperasian telephon seluler yang ditaja oleh PT Telkomsel.

Jalan

Pada tahun 1978 total jaringan jalan yang ada di Pulau Batam hanya sepanjang 1,4 Km. Sejak tahun 1977, di masa kepemimpinan JB Sumarlin, Otorita Batam sudah mulai menggagas pembangunan jalan arteri Sekupang-Baloi sepanjang 14,6 Km. Jalan tersebut masih berupa tanah. Meski demikian, jalur darat ini sudah dapat dilalui oleh kendaraan, terutama kendaraan-kendaraan proyek milik Otorita Batam maupun aset perusahaan kontraktor (rekanan) Otorita Batam.



Satu sudut ruas jalan Sekupang-Batu Ampar saat dalam progres pembangunan. Kondisi jalan ini masih berupa tanah dan hanya bisa dilalui kendaraan jenis Land Rover.

Di masa ini, warga Jodoh dan sekitarnya untuk bepergian ke Sekupang atau sebaliknya, lebih sering menggunakan jalur laut, yakni menggunakan speedboat atau pancung bermesin sederhana. Kalaupun terpaksa harus menggunakan jalur darat, biasanya warga menumpang kendaraan proyek yang melintas. Itupun kalau cuaca sedang cerah. Bila sedang turun hujan, hal itu tidak bisa dilakukan. Mengingat jalan yang dilalui basah, berlumpur serta licin. Kondisi ini berlangsung cukup lama namun akhirnya pengaspalan jalan itu dilaksanakan setelah turun dana dari pemerintah pusat.



Kondisi jalan di Batam era 1970-an.



Jembatan Sei Ladi, jembatan pertama di Batam yang dibangun tahun 1981.

Tak lama berselang, pengembangan fasilitas jalan berlanjut dengan dibangunnya jalan di Sekupang, tepatnya di Bukit Dangas. Lalu dilanjutkan dengan pembangunan jalan ke arah Tanjunguncang. Namun karena dana yang tersedia terbatas, jalan yang dibangun pada masa ini masih berupa jalan tanah. Pengaspalannya dilaksanakan tahun 1981 sejalan dengan pembangunan Jembatan Sei Ladi.


Bandar Udara

Proyek pembangunan bandara sudah dilakukan pada masa Ibnu Sutowo, tepatnya pada tahun 1974. Lokasi bandara yang sedianya ditempatkan di Tanjunguncang ini kemudian dipindahkan ke Batubesar karena adanya aturan penerbangan internasional yang menerangkan lokasi itu bisa mengganggu intensitas penerbangan Bandara Paya Lebar milik Singapura.

Bandara di Batubesar yang sekarang diberinama Bandara Hang Nadim ini, awalnya hanya memiliki panjang landasan pacu 850 meter dan bisa didarati pesawat jenis Twin Otter, Sky Van serta helikopter saja. Proses pemilihan lokasi bandara ini juga berlangsung cukup sederhana. Dengan topografi seadanya dan peninjauan lapangan oleh Marsekal Soedjatmiko dan staf teknik OPDIPB serta pihak kontraktor Robin Ednasa, ditetapkanlah lokasi Batubesar menjadi cikal bakal Bandara Hang Nadim.




Bandara Hang Nadim di masa perintisan pembangunannya.



Rencana pengembangan Bandara Hang Nadim.


Lalu memasuki tahun 1978, melalui perencanaan matang, Otorita Batam secara bertahap mulai membenahi pembangunan Bandara Hang Nadim. Hasilnya, pada tahun 1980, Hang Nadim sudah bisa dilandasi pesawat jenis Fokker 28. Pembangunan lanjutan bandara ini sendiri secara gradual akhirnya dilaksanakan melalui beberapa tahap; tahap satu tahun 1981-1983, membangun run away 45 x 2500 meter, tahap kedua 1988-1989, berhasil meningkatkan panjang landasan pacu menjadi 45 x 3600 meter serta tahap ketiga antara tahun 1993-1995, telah terbangun run away 45 x 4025 meter.



Pelabuhan Laut

Pelabuhan Sekupang yang merupakan pelabuhan kargo dan Terminal Ferry Domestik dan Internasional, mulai dibangun tahun 1970 dengan panjang dermaga 177M dan kapasitas 10.000 DWT. Pelabuhan Batu Ampar dibangun tahun 1971 dengan panjang dermaga awal 1000M. Sementara Pelabuhan Pantai Timur ( Kabil) dimulai pembangunannya pada tahun 1987 dengan panjang dermaga 410M. Pelabuhan ini kegiatan utamanya adalah melayani kapal-kapal milik Pertamina yang berstatus Marine Base Supply dan Kapal CPO.

Sejak tahun 1998, di Pelabuhan Sekupang telah beroperasi angkutan ferry dengan tujuan Singapura setiap setengah jam sekali. Sedangkan Pelabuhan Batu Ampar yang merupakan pelabuhan kargo dan terminal ferry baik domestik maupun internasional, telah mampu melayani kapal-kapal dengan bobot mati hingga 35.000 DWT. Panjang dermaga pelabuhan ini sendiri mencapai 1,250M, serta memiliki gudang tertutup seluas 19.500M2 serta halaman terbuka penyimpanan barang. Kapasitas ini akan ditingkatkan hingga panjang dermaga 3.600M dan fasilitas pergudangan barang seluas 230.950M2.



Di Kabil saat ini terdapat terminal minyak kelapa sawit dengan panjang dermaga 400M untuk kapal dengan kapasitas 3.000 ton bobot mati dan panjang 410M untuk kapal dengan kapasitas 35.000 ton bobot mati. Terminal ini memiliki gudang tertutup seluas 1.890M2. Kapasitas ini akan ditingkatkan hingga panjang dermaga menjadi 5.500M dengan kemampuan menampung kapal dengan bobot 150.000 ton.



Industri

Tahun 1978, lantaran infrastruktur penunjang di pulau ini yang serba terbatas, perusahaan yang beroperasi di Pulau Batam baik itu PMA maupun PMDN hanya sepuluh perusahaan.

Namun, seiring dengan pembenahan infrastruktur yang dilakukan Otorita Batam, jumlah perusahaan baik asing maupun dalam negeri yang beroperasi di Batam terus menunjukkan peningkatan. Dilihat dari jenisnya, industri di Batam beragam. Mulai dari dari industri berat (seperti MC.Dermott dan Nippon Steel), yang memperoduksi peralatan pengeboran lepas pantai terbesar Asia Tenggara, industri yang bergerak di perbaikan dan pembangunan kapal (galangan kapal) sampai dengan perusahaan yang memproduksi komponen elektronik (seperti Philips, Sanyo dll).



Lokasi pabrik milik PT MC Dermott di Batuampar.

Di Batam PMA yang paling cocok dikembangkan adalah PMA yang berorientasi ekspor, karena PMA yang berbasis sumber daya alam tidak mungkin menanamkan investasinya ke Batam, karena Batam tidak mempunyai sumber daya alam. Sedangkan PMA yang berbasis pasar pun tidak berminat datang ke Batam karena jumlah penduduk serta daya beli yang rendah sehingga pasar Batam tidak potensial. Perusahaan PMA yang berorientasi ekspor pun menuntut berbagai kondisi dalam hal pemilihan lokasinya untuk berinvestasi, antara lain mempertimbangkan ketersediaan infrastruktur, pelayanan yang cepat, mudah dan sederhana, biaya investasi yang murah, serta insentif yang menarik, yang utama tentunya keamanan berusaha dan kepastian hukum yang menjamin pengembalian investasi.

Persyaratan tersebut selama ini telah dimiliki Batam di mana pelayanan investasi yang dilakukan sudah aplikatif melalui sistem one stop service dengan tidak adanya bea masuk impor dan pajak ekspor. Kesemuanya itu sudah mencerminkan prinsip free trade zone.

Bila ditelaah lebih dalam, walaupun secara de jure Batam adalah kawasan berikat yang dilegalkan melalui Keppres No. 41/78, yakni seluruh daerah industri Pulau Batam ditetapkan sebagai Wilayah Usaha Bonded Warehouse, dalam perkembangannya telah beroperasi menjadi daerah Quasi Free Trade Zone, yakni kawasan industri yang sudah sedemikian “menyatu” dengan penduduk sekitarnya. Sehingga insentif perpajakan (PPN, PPnBM dan BM) yang diperuntukkan bagi industri juga dinikmati oleh seluruh penduduk Batam. Badan Otorita Batam sebagai pengelola selama ini berfungsi mirip sebuah badan administrator kawasan, kesemuanya ini menjadikan Batam secara de facto sebagai Free Trade Zone (FTZ).

Bagian Tiga: Kiprah 30 Tahun di Batam (1978-2008)






Awal Meniti Karir (1978-1982)


Joki mulai resmi menjadi pegawai Otorita Batam pada 1 November 1978. Jabatan yang disandangnya saat itu adalah staf di Departemen Perencanaan dan Teknik Otorita Batam. Pada tahun-tahun itu Otorita Batam baru memiliki sedikit insinyur. Sebelumnya, insinyur-insinyur teknik yang aktif di Otorita Batam di antaranya adalah Lagut Muluk, Halomoan Panjaitan serta Nanu Trisarjana.

Di masa-masa awal ini, ia masih berdinas Kantor Pusat Otorita Batam di Jakarta. Tapi demikian, oleh karena tuntutan pekerjaan, mengharuskannya bolak-balik Jakarta-Batam. Kondisi ini berlangsung hingga tahun 1982.

Ketertarikannya berkarya di Batam ini tidak lain untuk menerapkan ilmu perencanaan kota yang digelutinya dan itu mulai menampakkan wujudnya dengan penugasan pertama yakni terlibat dalam penyusunan masterplan Batam tahun 1979.



Di masa ini, Otorita Batam dipimpin BJ Habibie, di mana pembangunan Pulau Batam yang pada mulanya bertujuan sebagai logistic base, diubah menjadi industrial base. BJ Habibie mengkonsentrasikan pembangunan dengan konsep bonded island. Tak sekedar bonded zone. Intinya, dengan mengembangkan Batam, BJ Habibie lebih menggunakan pola berintegrasi dengan perekonomian Indonesia, dengan memanfaatkan eksistensi Singapura, sebagaimana teori balon yang diperkenalkannya.Hal inilah yang mendasari perlunya disusun masterplan baru mengenai pembangunan Pulau Batam sebagai daerah industri dan kota yang ber-economic base industri.

Master Plan Batam 1979



Masterplan Batam 1979 itu kemudian menjadi pijakan bagi tersusunnya Rencana Kerangka Dasar Tata Ruang Batam Tahun 1979 (RKDTR 1979). Dalam RKDTR 1979 itu, termaktub detil fungsi pengembangan Batam sebagai daerah pengembangan industri, kepariwisataan, pembinaan pusat distribusi, kegiatan alih kapal dan logistic base. RKDTR 1979 ini kemudian jadi pedoman pelaksanaan bagi pembangunan Batam ke depan. Beberapa pokok bahasan yang tertuang dalam RKDTR 1979, antara lain berupa penetapan lebar batas milik jalan ± 200 meter untuk mengantisipasi volume arus lalu lintas serta penggunaan moda angkutan masa depan. Penetapan wilayah pengembangan, yang dihubungkan dengan jalan arteri (penghubung) di mana pada hakekatnya masing-masing wilayah pengembangan itu self sufficient (mandiri). Dengan fungsi utama yang ditetapkan, ‘diikat’ dengan pusat kota dan pusat pemerintahan. Untuk memudahkan interaksi dan interkorelasi antar masing-masing wilayah pengembangan, baik masa kini maupun masa mendatang, dihubungkan dengan jalan yang ROW (right of way)-daerah milik jalan- selebar 200 meter.

Dengan tersusunnya RKTDR 1979 itu, maka untuk pertama kalinya disusun Prosedur Baku Pengalokasian Lahan di Daerah Industri Pulau Batam. Saat itu pula dimulailah penetapan advise planning (Fatwa Planologi) - prosedur fatwa-, sebagai pedoman membuat perencanaan dalam membangun suatu lokasi yang sudah diberikan kepada pihak user atau investor. Fatwa planologi ini penting ditetapkan untuk memberikan saran teknis kepada investor dalam merencanakan Site Plan (tata letak), sehingga site plan yang dibuat tetap mengacu pada RTRW Batam. Pada hakekatnya fatwa planologi baru dapat diterbitkan apabila kelengkapan hierarkhi perencanaan telah terpenuhi.

Secara diagram, prosedur fatwa seperti gambar berikut:







Menjadi Kepala Biro Pengembangan Wilayah dan Tatah Guna Lahan (1982-1984)

Memasuki tahun 1982, atas dedikasi serta kemampuannya, Otorita Batam memberi kepercayaan kepada Joki untuk memangku jabatan sebagai Kepala Biro Pengembangan Wilayah dan Tata Guna Lahan di bawah Asisten Perencanaan Balak Otorita Batam.

Dengan tugas baru itu, ia kemudian hijrah dan menetap permanen di Pulau Batam. Tidak mungkin baginya untuk terus bolak-balik Jakarta-Batam. Sebagai kepala biro, tugas yang diemban memang makin banyak dan berat. Dengan menetap di Batam, tentu bisa menjadikannya lebih fokus serta efektif memenej waktu dalam menjalankan rutinitas tugas sehari-hari.



Kantor Otorita Batam di Sekupang s/d akhir 1980-an.



Saat masih bertugas di Jakarta, bersama dengan staf Otorita Batam yang lain, berbagai penataran diikutinya, di antaranya Penataran P4 Instansi Pertamina (1979) serta Penataran Kewaspadaan Nasional yang diselenggarakan Departemen Pertambangan dan Energi, Jakarta.

Sedangkan kursus yang diikutinya di Batam pada tahun 1983 antara lain adalah kursus pengamanan security yang diselengarakan oleh Seintelstrat (Sekolah Inteligen Strategis) yang berpusat di Cilendek, Bogor. Kursus ini diperuntukkan bagi para pejabat di wilayah yang dikategorikan rawan atau perbatasan.

Mereka yang ikut adalah pejabat dari instansi, imigrasi, Bea Cukai, Pertamina dan lain-lain. Dalam kursus ini, dari hasil penilaian, dirinya menjadi peserta terbaik kedua. Posisi pertama ditempati oleh drh Chaidir, sekarang menjabat sebagai Ketua DPRD Provinsi Riau.



Di Thames Barrier, London.



Berikutnya, ia juga mengikuti berbagai seminar dan lokakarya di dalam maupun luar negeri, seperti Seminar on Urban Planning and Development in 1980’s di Kuala Lumpur, Lokakarya Manajemen Proyek yang digelar LPPM, Jakarta serta BIDA Project Management Seminar Port and Newtown Development-Milton Keynes-London, The Hague-Zoe Termeer-Roterdam, Belanda.


Tugas Baru Tantangan Baru (1984-1991)


Tahun 1984, Joki tak lagi menjabat sebagai Kabiro Pengembangan Wilayah dan Tata Guna Lahan, oleh Otorita Batam, dipromosikan menjadi Asisten Kepala Badan Pelaksana Bidang Pelayanan Perusahaan. Inilah untuk kali pertama memangku jabatan di luar disiplin ilmu yang dipelajarinya dan itu dijalankan sampai tahun 1989. Dari segi kepangkatan, jabatan tersebut, setelah ada penetapan eselonisasi, sejajar dengan eselon IIA. Oleh karenanya pada periode ini yakni pada tahun 1988, ia berkesempatan mengikuti Sespa-Deppen/LAN yang dikhususkan bagi Pejabat Eselon II, pendidikan jenjang tertinggi pagi PNS.




Mengikuti Sespa-Deppen/LAN.



Di sela-sela kesibukannya menjadi Asisten Kabalak, Joki masih menyempatkan menambah ilmu dengan mengikuti Latihan Pra Jabatan Tingkat III Departemen yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1986. Di tahun yang sama, oleh karena dedikasi serta pengabdiannya selama delapan tahun di Otorita Batam, Pemerintah RI menganugerahinya medali dan piagam penghargaan.

Semasa menjadi Asisten Kabalak Bidang Pelayanan Perusahaan ini, ia beroleh kesempatan menempuh pendidikan strata 2 di Institut Teknologi Bandung (ITB), sebagai kelanjutan dari pendidikan strata 1 yang ditempuh dalam bidang Perencanaan Daerah dan Kota (urban and Regional Planning). Mulai aktif kuliah sejak tahun 1989, kuliahnya itu berhasil diselesaikan dalam kurun waktu dua tahun sesuai dengan waktu minimal yang diperlukan yaitu tahun 1991. Dengan selesainya kuliah S2 tersebut, berikutnya gelar Magister Science of Planning, berhak disandang di belakang namanya. Dirinya lulus dengan IP 3,48 -hanya kurang 0,02 untuk memperoleh predikat cum laude-, sehingga menjadi wisudawan terbaik.



Wisuda S2 di ITB.



Dari Direktur, Staf Khusus hingga Inspektur (1991-1994)

Tahun 1991, Joki memangku jabatan baru sebagai Direktur Pengelolaan Sarana Satlak Otorita Batam. Jabatan baru tersebut merupakan kali kedua yang diembannya di luar disiplin ilmu yang dijalani.



Serah terima jabatan Direktur Pengelolaan Sarana Satlak OB dari Ir Arif Marzuki ke Ir Joki Muchajar, disaksikan Kasatlak OB Marsma Supandi.



Sebagai Direktur Pengelolaan Sarana Satlak OB, tanggungjawabnya adalah membawahi semua divisi sarana yang dimiliki OB seperti bandara, pelabuhan, rumah sakit, DAM/WTP dan PLTD. Dalam perjalannya, PLTD, seperti diketahui, kemudian diserahkan pengelolaannya kepada PT PLN Persero.

Meski jabatan baru, tugas itu mampu dijalankan dengan baik dan justru jadi pendorongnya untuk lebih bersemangat menimba ilmu di luar ilmu yang selama ini digelutinya.

Hal ini dibuktikan dengan diikutinya berbagai seminar, simposium termasuk studi banding di Jakarta serta Bandung. Di luar negeri, diikutinya juga seminar dengan beragam tema seperti di Singapura, Beijing hingga ke Denhaag, Belanda.




Mendapat mendali dan penghargaan atas pengabdian 16 tahun sebagai pegawai Otorita Batam.




Tahun 1992 hingga 1994, lagi-lagi, penugasan di luar disiplin ilmu yang dipelajari diperolehnya, dengan diangkat menjadi Staf Khusus Kasatlak Otorita Batam. Saat menjabat sebagai staf khusus inilah, Otorita Batam memberinya medali dan penghargaan atas pengabdian 16 tahun sebagai pegawai.

Berikutnya, tahun 1994, penugasan baru diberikan kepadanya, yakni sebagai Inspektur Pembangunan SPI. Tugas utamanya selama menjadi Inspektur Pembangunan SPI adalah melaksanakan fungsi pengawasan proyek pembangunan OB, antara lain pembangunan Bandara Hang Nadim serta Jembatan Barelang.

Di sela-sela kesibukannya bekerja, pada masa ini sempat berhaji ke Tanah Suci bersama dengan istri serta sejumlah rekan-rekannya. Bertolak ke tanah suci memenuhi panggilan Allah, baginya merupakan karunia sekaligus jadi sesuatu yang amat disyukurinya. Karena dengan begitu, maka apa yang dicita-citakannya sejak masa kanak-kanak tercapai sudah.



Ke Tanah Suci.



Kembali ke Jalur ‘Resmi’ (1998-2004)

Setelah malang melintang bertugas di berbagai jabatan di luar disiplin ilmunya, akhirnya pada tahun 1998, Joki kembali ke jalur ‘resmi,’ dengan diangkat menjadi Kepala Biro Perencanaan. Sepanjang menjabat sebagai Kabiro ini, berbagai langkah signifikan terkait bidang perencanaan telah dilakukan.

Di masa-masa awal jabatannya, bersama tim di perencanaan menyusun sekaligus menjalankan Penerapan Konsep Pemukiman Kembali (resettlement) dan Konsep Peremajaan Kota (urban Renual). Resettlement merupakan konsep penataan pemukiman dengan memindahkan lokasi- lokasi yang tumbuh menjadi pemukiman dengan rumah-rumah bermasalah karena tidak sesuai dengan peruntukan menurut Master Plan Batam, ke lokasi baru yang sesuai.



Serah terima jabatan Kabiro Perencanaan dari Ir Cahyo Prionggo ke Ir Joki Muchajar.



Bersama Ketua Otorita Batam Ismeth Abdullah dan para staff.


Tentunya dengan terlebih dahulu menyiapkan Kavling Siap Bangun ( KSB ) yang dilengkapi dengan infrastruktur berupa fasilitas sosial (fasos) serta fasilitas umum (fasum). Satu contoh yang berhasil diterapkan dari konsep ini adalah di daerah Batu Aji dan Nongsa.

Sementara di saat yang sama, urban renual juga diterapkan. Urban renual merupakan konsep penataan kawasan pemukiman bagi lokasi yang sudah terlanjur menjadi pemukiman dan sesuai dengan peruntukan dalam Master Plan, namun tidak tertata sesuai kaedah pemukiman yang layak, maka dibuatkan penataannya dengan peningkatan kualitas dan kuantitas infrastruktur fasum dan fasos, seperti yang akan dilaksanakan di Tiban Kampung, Bengkong Seken, Bengkong dan Pemukiman Kampung Becek Batu Aji. Di Jakarta konsep ini dikenal dengan Proyek MH Thamrin.

Selanjutnya, penerapan Sistem Neighbourhood Unit dalam perencanaan Kawasan Pemukiman juga dilakukan secara simultan semasa ia memimpin Biro Perencanaan. Sistem Neighbourhood ini merupakan konsep perencanaan kawasan pemukiman terpadu terdiri dari beberapa Unit Neighbourhood (Rukun Tetangga).




Pembangunan rusun sebagai salah satu solusi alternatif untuk mengatasi masalah pemukiman.


Masing-masing unit direncanakan untuk menampung penduduk dalam jumlah terbatas dan diikat dengan fasilitas umum dan sosial, misalnya Taman Kanak-kanak sebagai pusatnya, mampu dicapai para penghuninya hanya dengan berjalan kaki (walking distance). Beberapa neighbourhood unit yang berdekatan membentuk sebuah neighbourhood unit lagi yang lebih besar dengan pengikat sebuah fasum dan fasos, semisal sekolah dasar dan seterusnya sehingga membentuk sebuah pemukiman. Perencanaan Kawasan Pemukiman Tiban Kampung didasarkan pada konsep ini.

Penerapan Konsep Rumah Susun (rusun) juga menjadi agenda urgen yang dilakukan di Biro Perencanaan saat itu. Rusun adalah satu konsep alternatif untuk mengantisipasi kebutuhan akan pemukiman yang layak huni mengingat laju perkembangan penduduk di Batam yang demikian pesat. Untuk jangka panjang, konsep pengembangan pemukiman vertikal dengan pemanfaantan lahan secara maksimal dan berdaya guna serta tertata, sangat aplikatif diterapkan di Batam yang memiliki lahan terbatas. Konsep ini telah diterapkan pada beberapa kawasan dengan dibangunnya rusun di Batu Ampar, Jodoh, Sekupang dan Mukakuning. Selain itu, juga diisyaratkan kepada investor pengembangan kawasan Industri untuk melengkapi kawasan pembangunannya dengan membangun dormitori diperuntukkan bagi keperluan para buruh yang berkerja di dalam kawasan.

Selama menjadi Kabiro Perencanaan, Joki sempat ditunjuk sebagai Ketua Pelaksana dalam Tim Evaluasi dan Penyelesaian Rencana Strategik Otorita Batam tahun 2002-2006. Tim ini dibentuk dengan tujuan salah satunya untuk membuat satu perencanaan strategis mengenai Batam di masa depan. Beberapa di antaranya yang masuk dalam perencanaan adalah pembangunan Mass Rapid Transit (MRT) di Pulau Batam serta pembangunan jembatan yang menghubungkan Pulau Batam dengan Pulau Bintan.



Meninjau lahan pembangunan Masjid Raya.


Sebagai Kabiro Perencanaan, totalitasnya dalam menjalankan tugas makin teruji. Bahkan, seakan tak berhenti menimba ilmu, seminar dan pelatihan termasuk studi banding ke dalam dan luar negeri dilakoninya. Selama periode ini pula yakni tahun 2002, untuk kali ke-3 Pemerintah RI memberinya medali dan penghargaan atas pengabdian 24 tahun di Otorita Batam.

Selain menerapkan sejumlah konsep perencanaan berupa resettlement, urban renual, neighbourhood unit, karya menonjol yang dilakukan adalah perencanaan dan pembangunan fasilitas civic centre, yang ringkasnya diklasifikasikan ke dalam 3 bagian utama yaitu, Civic Center atau Kawasan Pemerintahan & Peribadatan, Kawasan Olahraga serta Fasilitas Umum.

Kawasan Civic Centre

Kawasan Civic Center adalah kawasan baru yang direncanakan dan berhasil dilaksanakan pembangunannya sebagai konsekwensi terbentuknya kota otonom Batam yang menuntut tersedianya perangkat keras pemerintahan daerah berupa tersedianya gedung DPRD Kota Batam.






Masjid Raya






Gedung DPRD Kota Batam




Asrama Haji Batam






Mengingat belum terbangunnya Gedung DPRD itu, Pemerintah Kota Batam terpaksa menggelar pemilihan walikota dan wakil walikota untuk kali pertama di Gedung Beringin, Sekupang

Joki sendiri, yang masih tercatat sebagai pegawai Otorita Batam ikut serta dalam pemilihan walikota dan wakil walikota Batam. Diusung oleh Partai Golkar, ia dipasangkan dengan H Murshal Muchdar. Dalam pemilihan itu, pasangan Drs Nyat Kadir dan Asman Abnur, SE akhirnya tampil sebagai pemenang. Sementara beserta pasangannya H Murshal Muchdar, sempat masuk sampai putaran kedua.



Joki bersama dengan para kandidat saat pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Batam definitif di Gedung Beringin, tahun 1999.



Selain Gedung DPRD, kawasan civic center yang terletak di Batam Center ini terintegrasi dengan sarana peribadatan yakni Mesjid Raya. Pembangunan Mesjid Raya ini diharapkan menjadi ciri kota, yang memang diperlukan sebagai kota yang mayoritas penduduknya adalah Islam. Mesjid Raya ini dilengkapi dengan keberadaan Komplek Asrama Haji, yang kemudian oleh pemerintah pusat ditetapkan sebagai lokasi Embarkasi Haji.

Sementara itu, fasilitas publik dan sosial lain yang juga menjadi gawean besarnya selama bertugas dan telah berhasil dijalankan adalah berupa perencanaan dan pembangunan Fasilitas olahraga di Mukakuning. Fasilitas olahraga ini penting keberadaannya mengingat jumlah penduduk Batam yang mencapai lebih dari 700 ribu jiwa, memerlukan sarana olahraga yang lengkap dan memadai untuk menampung berbagai aktifitas mereka.


Fasilitas Olah Raga di Mukakuning





Indoor Stadium





Lapangan Sepak Bola






Kolam Renang






Karena itu dalam perencanaannya, fasilitas olahraga itu dibangun lengkap mencakup gedung olahraga tertutup yang multifungsi, indoor serta outdoor stadium (lapangan sepakbola), termasuk kolam renang yang kini belum sempat terealisasi.

Fasilitas Publik

Selain yang bersifat monumental, selama menjabat Kabiro Perencanaan, berhasil menyusun pembangunan fasilitas publik yang bersentuhan langsung dengan masyarakat di antaranya Under Pass Seipanas, jembatan penyeberangan Tiban Lama serta penataan kembali perkampungan Tiban, Pembangunan Pasar Induk, Politeknik Batam, pemukiman karyawan serta Pedestrian di Sekupang.


Underpass-Seipanas







Under Pass Seipanas ini kini sudah terealiasi pembangunannya dan sudah digunakan para pemakai jalan sejak tahun 2007. Namun perencanaannya sendiri, sudah dilakukan sejak dirinya masih menjabat di Biro Perencanaan.


Jembatan Penyeberangan Tiban





Sementara itu, jembatan penyeberangan Tiban, direncanakan sejak lama dan sudah terealisasi tahun 2000. Jembatan tersebut merupakan jembatan penyeberangan pertama di Batam yang dibangun oleh Otorita Batam.


Politeknik Batam





Politeknik Batam merupakan hasil karya lainnya selama di Biro Perencanaan. Pembangunan Politeknik Batam ini urgen dilakukan sebagai jawaban atas tingginya permintaan pasar, terutama sektor industri akan skill workers. Realitasnya kemudian, Politeknik Batam memang benar-benar mampu menghasilkan tenaga terdidik yang semuanya terserap di berbagai sektor industri yang tersebar di berbagai kawasan di Batam.


Pasar Rakyat Jodoh





Selanjutnya, fasilitas umum yang menjadi prioritas pembangunan selama kepemimpinannya adalah penataan pasar di kawasan Jodoh melalui pendirian Pasar Induk Jodoh. Pasar rakyat tersebut dibangun untuk memberi tempat berjualan yang nyaman sekaligus permanen bagi para pedagang di Jodoh dan sekitarnya. Sebelum pasar induk dibangun, banyak pedagang yang berjualan di sembarang lokasi, seperti emperan mal atau badan jalan sehingga menimbulkan kemacetan lalu lintas, kesemrawutan dan tentunya mengurangi keelokan pemandangan kota.


Perumahan Karyawan





Perumahan sebagai salah satu fasilitas yang harus dipenuhi Otorita Batam bagi para karyawannya, dibangun pada masa dirinya bertugas di Biro Perencanaan. Sesuai perencanaan, perumahan karyawan itu dibangun di dua lokasi di Batam Center dengan luas 40 ha. Total rumah mencapai 900 unit yang masing-masing bertype 45. Perumahan karyawan ini dilengkapi dengan fasilitas publik seperti Sekolah TK, mesjid serta lapangan olahraga.


Pedestrian di Sekupang




Sementara itu, di Sekupang, bersama dengan tim di Biro Perencanaan membangun pedestrian (jalur bagi pejalan kaki). Pedestrian ini dibangun sebagai pengejawantahan dari konsep pengembangan kota nyaman (green city), di mana publik, terutama para pejalan kaki sebagai bagian dari komunitas, memperoleh hak yang sama dengan pengguna jalan lain untuk menggunakan jalan sebagai sarana untuk menjalankan aktifitas sehari-hari. Pedestrian ini hingga kini tetap digunakan para pejalan kaki di Sekupang dan nyatanya mampu memberi fungsi lain yakni sebagai sarana berinteraksi warga sekaligus menambah keindahan dan kenyamanan kota.

Tahun 2005, pengabdiannya di Otorita Batam berakhir. Kendati demikian, pemikiran serta dedikasinya masih dibutuhkan. Ini terbukti dengan diangkat menjadi Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Provinsi Kepulauan Riau, beberapa waktu pasca terbentuknya Provinsi Kepulauan Riau. Ia turut dalam ‘kabinet’ Drs Ismeth Abdullah, mantan pimpinannya di Otorita Batam.